Medium bercerita ternyata tak hanya lewat lisan dan tulisan, tapi bisa juga dilakukan melalui foto.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Fotografer dan Brand Ambassador Nikon Indonesia Sigit Prasetyo membedah cara bercerita melalui foto di webinar gagasan Terang Studios bertema “Social Media from A to Z: Storytelling through Photography”, Rabu (17/6/2020). “Bahkan, foto dapat bercerita, sekalipun si pencerita telah tiada,” katanya membuka materi.
Menurutnya, memotret memang dapat dilakukan setiap orang. Namun, umumnya mereka hanya fokus pada foto snapshot, alias mengambil foto yang banyak, namun tidak bercerita. “Hal yang sulit bagi seorang fotografer adalah membawa penikmat foto terhanyut ke dalam suasana,” ujarnya.
Mengutip pernyataan fotografer asal Inggris, Finn Beales, foto yang bercerita merupakan gabungan dari karakter, lokasi dan event. Jadi, kata Sigit, foto yang bercerita adalah foto yang mampu menginspirasi, membuat berpikir dan membangkitkan emosi mereka yang melihatnya. “Foto tersebut bercerita tentang subjek sang fotografer tanpa menggunakan gambar bergerak atau kata-kata,” imbuhnya.
Sigit membagi foto bercerita ke dalam dua jenis. Pertama, foto real-life event (sebenarnya). Kedua, konseptual. “Foto real-life event adalah foto yang tidak dapat dikendalikan oleh sang fotografer,” ujarnya seraya menyebut The Vulture and The Little Girl karya Kevin Carter tahun 1993. Foto yang memuat gambar seekor burung bangkai dan balita Sudan yang kurus kering dan kelaparan ini begitu fenomenal. Carter berhasil menghadirkan cerita bahwa bencana kelaparan di Sudan sudah sangat serius.
Karena karyanya itu, Carter diganjar penghargaan Pulitzer. Namun, ia diketahui bunuh diri. Ia diduga depresi lantaran kerap memilih menangkap gambar orang yang sedang menderita ketimbang menolongnya. Dari kisah ini Sigit ingin menekankan dampak yang ditimbulkan sebuah foto, tidak hanya memengaruhi orang yang melihatnya, namun juga fotografer yang bersangkutan.
Sementara foto konseptual adalah foto yang bisa diatur oleh sang fotografer. Contoh, foto untuk iklan dan ilustrasi seperti karya foto Lunch atop A Skyscraper tahun 1932. Foto ini memperlihatkan sebelas pria sedang makan siang sambil duduk di gelegar dengan kaki di atas jalanan Kota New York.
Dua Hal
Menurut Sigit, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menghasilkan foto yang bercerita. Pertama, konteks dan ide. Kedua, objek, benda-benda, maupun lingkungan sekitar. Contoh, ketika melakukan foto untuk pernikahan. Objek yang harus ditonjolkan adalah kedua mempelai. “Perhatikan juga lingkungan dan suasananya. Misalnya, pengantin perempuan membawa buket bunga berjalan mendekati pengantin pria yang telah selesai melaksanakan ijab Kabul,” ujar pria yang kini aktif sebagai fotografer pernikahan muslim ini.
Ketiga, mengambil gambar secara berseri. Tujuannya, untuk membantu menceritakan peristiwa secara keseluruhan. “Kuncinya, menangkap momen dan emosi. Mulai dari perasan malu-malu saat mempelai bergandengan tangan sampai perasaan haru saat meminta restu orang tua,” ujarnya.
Fotografer perlu membuat rencana pengambilan gambar untuk menghasilkan foto yang bercerita. Dia harus tahu di mana akan berdiri saat berada di tengah acara. “Kita harus tahu angle yang kita ambil. Dengan begitu dalam kondisi seramai apapun, foto kita tetap bagus,” ujarnya.
Lainnya tak kalah penting, gunakan insting. “Kita harus bisa memperkirakan dan bersiap-siap untuk momen yang akan terjadi selanjutnya,” katanya. Selain itu, fotografer harus mengerti tentang warna agar dapat menyampaikan gambar yang memberi dampak. Misal, warna biru identik dengan ketenangan, merah dengan kegembiraan. Dan, jadilah fotografer yang karyanya orisinal. (rvh)