Setujukah Anda, canggih bermain media sosial tidak menjamin kita cerdas bermedia digital? Inilah yang mendorong Love Pink, organisasi nirlaba yang berfokus pada kegiatan sosialisasi deteksi dini dengan cara SADARI, mengadakan diskusi secara virtual “Cerdas dalam Bermedia Sosial”, Rabu (17/6/2020).
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pembahasan ini mengemuka di tengah makin banyaknya hoaks yang beredar di media sosial, bahkan di media layanan pesan instan seperti WhatsApp. Adapun WhatsApp Group (WAG) menjadi salah satu media yang paling rentan sebagai sumber penyebaran hoaks.
Menurut Dr Lestari Nurhajati, Wakil Rektor 4 Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, sebaiknya hoaks itu harus berhenti di kita. Maka itu, katanya, penting bagi kita memahami konten, memiliki bukti yang meyakinkan bahwa informasi itu benar, sebelum benar-benar menyebarkan ke orang lain.
Lestari pun mendorong peserta bersikap kritis melawan hoaks, khususnya di masa pandemi Covid-19. Merujuk pada kampanye Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), pertama, lakukan analisis. Waspadai informasi yang berlebihan dan provokatif. Misalnya, banyak huruf kapital, pakai tanda seru, serta mengunakan tanda perintah viralkan.
Kedua, verifikasi. Bandingkan dengan informasi lain, cek sumber fakta yang dapat diprcaya, periksa kebaruan informasi. “Ada banyak situs yang membantu kita untuk mengecek fakta, manfaatkanlah keberadaannya,” kata Lestari. Ketiga, evaluasi. Jangan buru-buru berbagi, pastikan pesannya betul-betul penting dan tidak berisiko. “Kita harus mengevaluasi berita yang mau kita sebarkan,” imbuhnya.
Keempat, partisipasi. Kalau menemukan hoaks, jangan diam saja. Ingatkan kepada mereka dengan sopan. Bagikan lagi klarfikasinya. Bahkan kalau perlu diulang-ulang untuk saling mengingatkan. “Mohon maaf ini sepertinya hoaks. Tidak ada sumber atau link-nya yang bisa dipercaya. Mohon maaaf bila kurang berkenan. Hanya sekadar mengingatkan,” ujarnya memberi contoh.
Ia melanjutkan, “Jadikan WAG seperti organisasi riil. Kesepakatan itu harus juga diterapkan di dunia digital, jangan sampai kita kehilangan etika ketika bermedia digital. Jadikan niat membangun grup itu tetap pada koridornya, membangun positivisme,” imbuhnya.
Kelima, kolaborasi. “Buat konten positif secara bersama-sama. Buka jejaring, rangkul mereka yang memiliki keterampilan untuk mendukung proses kerja sama itu dan memiliki concern yang sama,” tutup Lestari. (rtn)