Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan menjadi salah satu elemen penting yang berperan selama Pandemi Covid-19.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mereka tak hanya berperan menyampaikan dan mendistribusikan informasi tentang perkembangan kasus Coronavirus Disease (Covid-19), tapi juga menunjukkan kesungguhan dan upaya yang sudah dilakukan Kemenkes dalam menangani pandemi kepada publik. Harapannya terbangun trust dari publik kepada pemerintah sehingga mereka mau mengikuti anjuran dan kebijakan pemerintah. Bahkan, berpartisipasi melawan wabah ini.
Sungguh bukan pekerjaan mudah. Kepada PR INDONESIA, Selasa (5/5/2020), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati menceritakan dinamika humas pemerintah Kemenkes selama hampir lima bulan ini berjibaku menghadapi krisis Covid-19.
Menurut Wiwid, begitu ia karib disapa, dalam menjalankan fungsi dan strategi komunikasinya selama krisis ini, Kemenkes berpedoman pada Komunikasi Risiko yang menjadi salah satu bagian teknis yang ada di dalam International Health Regulation (IHR). Yakni, instrumen internasional milik WHO yang mengikat kewajiban negara-negara dalam mencegah, melindungi dan mengendalikan wabah secara internasional.
Komunikasi risiko itu sendiri, lanjut Wiwid, merupakan proses pertukaran informasi dan opini interaktif antara individu, kelompok dan institusi. Adanya pertukaran informasi dan penyampaian pesan risiko ini membantu target audiens/publik sebagai lawan bicara memahami tingkat keseriusan risiko. Dengan begitu, mereka diharapkan mampu membuat keputusan dan tindakan yang tepat dalam menghadapi risiko selama menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Adapun prinsip dasar yang dianut Kemenkes saat mengimplementasikan Komunikasi Risiko antara lain kenali audiens, libatkan para ahli/pakar, tingkatkan kapasitas komunikasi, jadilah sumber informasi terpercaya, bangun kepercayaan publik, transparan, hingga menciptakan ketenangan tapi tetap waspada. “Pastikan organisasi harus menjadi sumber informasi yang pertama, tepat, dan kredibel,” katanya. Menurutnya, dengan melakukan prinsip-prinsip dasar Komunikasi Risiko tadi, mereka dapat meminimalisasi terjadinya risiko lebih besar. “Kita justru mendorong terjadinya perubahan perilaku dan memastikan reputasi pemerintah/organisasi tetap terjaga,” kata Wiwid.
Komunkasi Risiko selanjutnya diimplementasikan ke dalam sembilan langkah. Meliputi analisis situasi, membangun sistem komunikasi, menyiapkan strategi komunikasi, mendirikan media center-contact center, menentukan mekanisme kerja, membangun tim dan menunjuk jubir, menyebarkan informasi tepat kepada audiens tepat, melakukan koordinasi dan kemitraan, serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
Strategi Komunikasi
Mereka lantas menyusun strategi komunikasi yang dimulai dari menentukan tujuan. Antara lain, menciptakan masyarakat yang tenang dan paham mengenai apa yang mereka harus lakukan bagi lingkungan terdekatnya, membangun persepsi masyarakat bahwa negara hadir dan tanggap dalam mengendalikan situasi krisis yang terjadi.
Selanjutnya, membuat narasi utama yang mengandung unsur, salah satunya, “Pemerintah Serius, Siap dan Mampu Menangani COVID-19”. Adapun narasi utama selama dua minggu di awal bulan Ramadan adalah #dirumahaja. Memasuki minggu ketiga hingga keempat menjalang Lebaran beralih menjadi #tidakmudik.
Strategi komunikasi ini ditindaklanjuti dengan membuat aktivitas komunikasi yang diawali dengan membentuk tim komunikasi, menunjuk juru bicara, membuat media center/desk information, melakukan manajemen isu, menyiapkan situs khusus Covid-19 (covid19.kemkes.go.id), menyampaikan informasi atau publikasi, menyediakan hotline (119/1500567), hingga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak seperti media, platform media sosial, kementerian/lembaga, UNICEF, dan WHO.
Tak kalah penting adalah membagi audiens/khalayak ke dalam dua kelompok. Yakni, primer (masyarakat umum dan masyarakat tertentu seperti pekerja, pelajar, orang tua, anak-anak) dan sekunder (pemerintah pusat dan daerah, lembaga negara, lainnya). Setelah itu, distribusikan informasi melalui kanal informasi yang relevan dengan masing-masing audiens tadi. Bisa melalui media penyiaran, media cetak, media daring, media sosial, SMS dan hingga jejaring below the line.
Sampaikan informasi/pesan kepada publik secara berkala. Alasannya, kata Wiwid, publikasi harian akan menjawab isu hangat yang beredar di masyarakat dari hasil media monitoring. Langkah ini juga bertujuan agar reputasi pemerintah tetap terjaga. Produk informasi bisa berupa rilis, konferensi pers, siaran radio kesehatan, talkshow di TV/radio, dan aktivitas above serta below the line.
Publikasi harian juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan publik yang haus terhadap informasi terbaru, meminimalisasi hoaks dan meredam keresahan masyarakat. Agar penyebarannya cepat dan mudah dipahami, Kemenkes kerap menyediakan informasi yang mengandung unsur shareable content seperti infografis, videografis, narasi antihoaks untuk media dan Kominfo.
Sementara itu, konten untuk publikasi berkala atau mingguan umumnya bertema menjaga perilaku hidup bersih dan sehat, jaga jarak fisik dan isolasi diri. Pesan itu dilakukan terus menerus dengan memanfaakan berbagai kanal informasi seperti media sosial, advertorial, radio kesehatan, dan below the line. Sementara narasumber yang ditunjuk sebagai penyampai pesan tersebut adalah Dirjen P2P, Sekjen, Kepala Badan PPSDMK, Eselon II terkait, pejabat K/L lain.
Kolaborasi
Wiwid tak memungkiri kolaborasi menjadi kunci utama kesuksesan komunikasi publik di tengah pandemi seperti sekarang. Upaya itu tampak semenjak pemerintah menunjuk Achmad Yurianto selaku jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19, 3 Maret 2020. Diikuti dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diketuai Kepala BNPB Doni Monardo tanggal 13 Maret 2020.
Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 selanjutnya membentuk tim monitoring dan analisa. Tim ini secara rutin memantau dan menganalisis pesan pencegahan, audiens dan sebaran yang dihimpun dari berbagai sumber data. Hasil dari analisis ini selanjutnya dibawa ke dewan redaksi untuk menentukan agenda setting, narasi edukasi dan komunikasi kebijakan. Selanjutnya, diproduksi untuk menjadi materi komunikasi, media dan konferensi pers, web, call center dan chatbot, hingga SMS blast. Kemudian, didiseminasi ke jaringan lembaga penyiaran, komunitas, KSP, relawan medsos,korporasi, diskominfo, hingga stafsus milenial. “Satu pesan kunci, satu suara,” imbuhnya.
Komunikasi ini juga tak bisa sukses tanpa melibatkan masyarakat mulai dari sektor swasta, influencer, tokoh masyarakat, media, hingga kelompok masyarakat. “Sebab, kami meyakini pesan akan baru akan benar-benar sampai dan dipahami apabila mempertimbangkan kearifan lokal setempat mulai dari adat istiadat, bahasa dan budaya,” ujar Wiwid. (adv)