JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ya, memang tidak ada negara di dunia manapun yang siap menghadapi wabah ini. Pasti ada trial and error. Bedanya, di Indonesia, proses komunikasi dimulai dari krisis ketidakpercayaan. Berawal dari deretan jawaban para pejabat yang kerap diselingi guyon setiap kali menanggapi pertanyaan dari pewarta tentang upaya dan kesiapan pemerintah apabila virus ini sampai ke tanah air. Apalagi keberadaan virus yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, itu terasa makin dekat. Bahkan, telah menginfeksi sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Australia.
Hingga hari itu pun tiba. Senin, 2 Maret 2020, Presiden RI Joko Widodo untuk kali pertama mengumumkan secara terbuka dua pasien di Indonesia positif terinfeksi Coronavirus Disease (Covid-19). Pengumuman tersebut diikuti dengan informasi mengenai kronologis pasien tersebut terinfeksi hingga akhirnya mendapatkan penanganan intensif.
Publik lantas bertanya, mengapa pengecekan Covid-19 terhadap pasien baru dilakukan justru setelah pasien mendapat kabar dari temannya yang lebih dulu dinyatakan positif dan sedang dalam perawatan di Malaysia? Krisis kepercayaan kepada pemerintah pun tak terbendung. Publik menuding pemerintah tidak transparan dan serius melindungi masyarakat dari pandemi yang sudah merengut ribuan nyawa di dunia ini.
Bagian dari Strategi
Pemerintah menepis anggapan itu. Juru bicara Achmad Yurianto melalui wawancaranya di kanal YouTube dan Podcast milik Deddy Corbuzier mengatakan, pemerintah tidak menutup-nutupi, melainkan “mengatur” informasi. Tujuannya, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan panik.
Hal senada juga disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan saat menjadi pembicara di acara yang diselenggarakan oleh ILUNI UI di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Menurutnya, pemerintah Indonesia tidak bisa setransparan negara lain, sebut saja Singapura, dalam mengomunikasikan pandemi ini. Terbukti, ketika dua pasien positif Covid-19 diumumkan, langsung terjadi panic buying. “Yang pemerintah lakukan semata-mata bagian dari strategi komunikasi,” ujarnya.
Komunikasi seperti ini sekilas mirip seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Selandia Baru. Pemerintah hampir tidak bersuara ke publik agar tidak menciptakan kegaduhan. Informasi terkini mengenai isu genting seperti wabah Covid-19 hanya diperoleh dari Perdana Menteri Jacinda Ardern dan Dirjen Kesehatan Ashley Bloomfield.
Meski begitu, bukan berarti pemerintah diam. Kamis (6/2/2020), Ketua KSP Moeldoko resmi mengumumkan penetapan KSP sebagai posko atau pusat informasi dan komunikasi penanganan virus corona. Bersama lintas kementerian, KSP membuat lima protokol utama penanganan Covid-19. Di dalamnya terdapat protokol komunikasi. Protokol komunikasi ini menjadi panduan bagi seluruh elemen pemerintah dalam memberi informasi seputar Covid-19 kepada publik, juga mengatur alur komunikasi pusat dan daerah.
Tuntutan transparansi yang makin tinggi mendorong pemerintah terus melakukan penyesuaian strategi untuk meraih kembali kepercayaan publik. Mulai dari menunjuk Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (P2P Kemenkes) Achmad Yurianto selaku jubir, diikuti dengan ditetapkannya Kepala BNPB Doni Monardo oleh Presiden sebagai Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Sabtu (14/3/2020). Sementara tanggal 12 Maret 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Surat Edaran Menkes tentang Komunikasi Penanganan Covid-19.
Apresiasi Pemimpin Daerah
Para pengamat justru mengapresiasi langkah cepat, tanggap dan transparan yang dilakukan oleh sejumlah pemimpin daerah. Cara ini setidaknya mampu meredam kegelisahan warga di tengah kekosongan informasi dari pemerintah pusat.
Pemerintah Kota Depok, misalnya, sebagai salah satu daerah yang menjadi lokasi pertama ditemukannya pasien positif Covid-19 di Indonesia, sesuai arahan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, segera membentuk Tim Krisis Covid-19. Tim ini dipimpin langsung oleh Wali Kota Depok Mohammad Idris. Informasi keluar satu pintu dengan dukungan data dari kepala dinas, camat, hingga lurah. Sementara Gubernur Jabar, Kang Emil, membentuk crisis center. Biro Humas dan Keprotokolan Jabar bertugas membuat SOP Komunikasi Covid-19 yang akan diterapkan dalam crisis center. Untuk menjawab tantangan koordinasi lintas sektor, mereka meluncurkan Pikobar. Aplikasi informasi peta sebaran Covid-19 di Jabar.
Sadar wilayahnya berpotensi tinggi menjadi episenter wabah Covid-19, Pemprov DKI Jakarta juga bergerak cepat membentuk tim Gugus Tugas Percepatan Covid-19, menggandeng call center 112, dan membuat microsite pemantauan wabah Covid-19 yang dapat diakses melalui www.corona.jakarta.go.id. Khusus tim komunikasi, Pemprov DKI Jakarta membentuk Tim Tanggap Covid-19. OPD secara berkala menginformasikan perkembangan terkini terkait pencegahan penanggulangan, dan pengobatan Covid-19. Informasi tersebut kemudian dihimpun oleh Diskominfotik selaku pengarah publikasi terkait informasi Covid-19. Penyampaian informasi secara faktual dan reguler diyakini Gubernur Anies dapat memudahkan ia bersama jajarannya, juga warga, untuk bertindak dengan benar dan menghindari panik yang tidak perlu.
Pemkot Surabaya membentuk gugus tugas beranggotakan Dinas Kesehatan, Dinas Komunikasi dan Informatika serta Bagian Humas. Seperti halnya DKI Jakarta, Pemkot Surabaya juga menggandeng influencer agar komunikasi lebih efektif.
Yang pasti, sebagus apapun strategi komunikasi tetap harus dibarengi dengan tindakan nyata dari pemerintah dalam melindungi rakyat dengan secepatnya memutus penyebaran Covid-19. Gubernur Anies, misalnya, menutup sekolah, membatasi jam operasional transportasi publik, dan menyerukan penghentian sementara kegiatan perkantoran. Sementara Wali Kota Risma memberikan masker, layanan periksa virus corona gratis, membangun 140 wastafel portable, penyemprotan disinfektan di sejumlah ruang publik, hingga mendirikan bilik sterilisasi.
Mengikuti perjalanan komunikasi yang dilakukan pemerintah dalam menyikapi wabah ini, tak salah kiranya jika Indonesia berada dalam kategori darurat strategi komunikasi nasional. Menurut Maria, Presiden Direktur IPM PR, persyaratan penanganan krisis yang efektif sejatinya terdiri dari tiga hal: kepemimpinan yang kuat, panduan komunikasi, serta tim yang kompeten untuk menangani komunikasi krisis. Sudah seharusnya pemerintah memiliki manajemen isu, melakukan simulasi komunikasi, mengaktifkan pusat krisis, hingga membuat laporan postmortem. Sehingga, apabila terjadi krisis, semua pihak yang terlibat sudah siap, dan kesalahan serupa tidak terulang. Yang pasti, jumlah rakyat/korban yang terdampak akibat krisis dapat ditekan sedemikian rupa. (rtn)