Selama empat tahun berkecimpung di dunia public relations (PR) sebagai External Communication PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau Telkom, Nike Yosephine melihat generasi Y adalah generasi yang saat ini dianggap “seksi” bagi perusahaan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mereka dinilai paling kreatif dan energik. Keberadaannya diharapkan dapat membawa darah segar mulai dari suasana kerja sampai perubahan sehingga perusahaan dapat berjalan sesuai “zaman now”—istilah kekinian anak zaman sekarang.
Tak heran jika perusahaan kerap melibatkan dan meminta usulan dari karyawan mereka yang termasuk ke dalam kategori millennial. Apalagi perusahaan perlu memahami karakteristik dan aktif membuat aktivasi kepiaran atau kampanye yang melibatkan generasi Y sebagai salah satu target audiens/calon konsumen potensial. Meski, keputusan akhir tak sepenuhnya menggunakan ide dari para millennial.
Tentulah para senior lebih tahu kondisi di lapangan, apalagi tempatnya bekerja merupakan perusahaan BUMN yang memiliki banyak aturan dan tak terpisahkan dengan kebijakan pemerintah. Menyikapi hal tersebut, bungsu dari empat bersaudara ini memilih untuk tidak langsung menarik kesimpulan, melainkan menelaah alasan di balik keputusan itu. “Saya jadi belajar untuk mau mendengar,” kata lulusan Political Science, International Relations and Affairs, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, bijak.
Perempuan kelahiran Karawang, 27 Desember 1989 ini melanjutkan, gen Y memang aktif dan energik, tetapi gen X memiliki pengalaman lebih banyak. Dari situ seharusnya antargenerasi bisa saling berkolaborasi dan bahu membahu agar mereka dapat meminimalisasi risiko dari rencana yang dibuat dan tahu apa yang akan dibangun. Di sisi lain, para pekerja millennials ini pun jadi tahu apa yang dibutuhkan dari keberadaan mereka. Cara ini selanjutnya akan mendorong terbentuknya tim yang solid yang merupakan unsur penting dari keberlanjutan suatu perusahaan.
Bicara soal masa depan, boleh saja dunia beserta manusia di dalamnya akan sangat hi-tech. Tapi sebagai PR, tetap harus menanamkan pentingnya sisi humanis dalam setiap membangun relasi. “Biarlah teknologi memudahkan publik, bukan menjauhkan hubungan,” kata penganut prinsip “Dreams with your eyes wide open”.
Meski begitu, PR haruslah yang terkini dan andal dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk mengoptimalkan aktivitasnya. Mungkin kompetensi yang harus mereka miliki saat ini untuk menunjang PR masih seputar 3D printing, artificial intelligence, augmented reality, big data, biometric, bisnis, cloud computing, energi, IoT, dan lainnya. Namun, kebutuhan ini akan terus berkembang seiring semakin majunya teknologi dan perkembangan bisnis. “Sebagai PR, kita tidak boleh ketinggalan,” imbuh perempuan yang dikenal aktif menghadiri seminar PR dan berdiskusi dengan para praktisi PR senior di tanah air. Ia juga berencana memperdalam ilmu human capital untuk meningkatkan kompetensi.
Jurnalis
Di antara sekian banyak pelaku PR di bawah usia 30 yang ditemui PR INDONESIA, Nike adalah salah satu PR muda yang mengawali kariernya di bidang jurnalistik. Pengalamannya menjadi jurnalis televisi membantunya berkiprah di dunia PR. Terutama, soal keluwesan dalam membuka dan membangun jejaring yang menjadi profesinya kini. “Kami keluar kantor meski kelihatannya sekadar ngobrol, sebenarnya sedang membangun hubungan,” kata perempuan yang dinobatkan sebagai The 1st ICON PR INDONESIA 2016. Memiliki koneksi luas justru memudahkan perusahaan. Ketika datang kesulitan, mereka bersedia membantu, begitu juga sebaliknya.
Melihat semangat PR muda untuk berkontribusi, ia optimistis masa depan mereka akan lebih baik asalkan konsisten. “Konsistensi memang menjadi masalah generasi Y. Kami berkarakter mudah bosan dan pergi jika merasa tidak berkembang,” ujar penggemar klub sepak bola asal Inggris, Arsenal. Agar tak kehilangan generasi penerus, ia berharap perusahaan mau mengenali, memahami karakter dan sama-sama beradaptasi. “Budaya kerja sebaiknya fleksibel, tidak terlalu banyak aturan, tetapi tetap bertanggung jawab,” harapnya. rtn