Menyaksikan berbagai wawancara pejabat/eksekutif di televisi (TV) menunjukkan betapa penting pemahaman public relations (PR). Mendapat kesempatan wawancara di TV berarti kesempatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Persoalannya, apa kesempatan tersebut digunakan dengan baik?
Oleh: Maria Wongsonagoro, PR Consultant, President Director of IPM Public Relations
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Para praktisi PR di bagian corporate communication perlu menyampaikan kepada atasan bahwa tidak mudah berkomunikasi verbal maupun nonverbal di media TV. Tidak bisa asal bicara. Berbagai pertanyaan tidak terduga sangat mungkin muncul. Narasumber perlu mengadakan persiapan matang, termasuk menguasai materi secara mendalam. Bila ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab, atau ada pertanyaan sensitif, tehnik penanganannya perlu dikuasai.
Anda wajib mengetahui bahwa atasan Anda perlu memiliki kemampuan untuk mengendalikan wawancara. Hal itu agar pesan kunci atau key message dapat disampaikan dengan efektif.
Bagaimana jika wawancara masuk ke ranah sensitif? Apakah atasan Anda mampu membelokkan percakapan dan pesan kunci bisa tersampaikan? Itu masalah konten dan cara penyampaian (verbal communication).
Sekarang mari kita membahas nonverbal communication–yaitu bahasa tubuh atau body language. Ketahuilah bahwa tanpa mengucap sepatah katapun, atasan Anda sudah menyampaikan pesan kepada pemirsa melalui bahasa tubuh. Bahasa tubuh antara lain adalah eye contact atau tatapan mata. Tatapan mata seharusnya mengarah ke mana? Tatapan mata ke atas, ke bawah, ke kiri, atau ke kanan, menandakan kebingungan. Tatapan sesekali melirik kamera juga jangan dilakukan. Sebaiknya mengarah pada yang mewawancarai, yaitu reporter TV.
Kemudian bahasa tubuh yang lain adalah facial expressions dan gestures atau gerak gerik muka, tangan dan badan. Pernah tidak melihat orang yang marah saat diwawancara? Kalau volume TV hilang, Anda tetap menangkap kemarahan seseorang dari gerak gerik muka dan bahasa tubuh.
Bahasa Tubuh Tidak Berbohong
Bila ada berita negatif dan atasan Anda minta waktu untuk tampil di depan TV untuk memberi sanggahan atau his or her side of the story, sarankan jangan dulu. Apakah itu merupakan strategi yang tepat? Kalau opini publik menunjukkan hilangnya kepercayaan (loss of trust) maka lebih baik tidak tampil. Sanggahan tidak akan efektif.
Baru-baru ini saya melihat dua wawancara. Pertama, seorang pejabat ingin menyanggah tuduhan. Mungkin verbal communication atau pesan yang disampaikan secara verbal sudah benar. Pejabat itu menyampaikan versi tentang ketidakterlibatannya dalam suatu kasus. Hanya saja dari bahasa tubuh, terlihat si pejabat sangat tidak nyaman. Bingung dan gelisah. Bila kita percaya bahwa body language does not lie, maka bisa pemirsa televisi lebih percaya nonverbal communication atau body language-nya.
Yang kedua, ibu yang meminta maaf melalui TV karena memperlakukan petugas secara kurang baik. Saat menyampaikan pesan, ibu itu membaca teks. Lho, minta maaf, kok, pakai teks? Minta maaf harus dari lubuk hati. Si ibu juga menggunakan kaca mata gelap. Pemirsa tidak melihat tatapan matanya. Bisa dibayangkan persepsi pemirsa TV seperti apabila melihat tayangan tersebut. Apalagi persepsi masyarakat tidak memihak kepada si ibu.
Para praktisi PR yang bertugas di bagian corporate communication, perlu memberi saran kepada pejabat/eksekutif untuk mengikuti media coaching atau media training. Pelatihan perlu diberikan secara berkesinambungan. Apalagi jika sedang menghadapi isu yang berpotensi krisis. Pelatihan sebaiknya penuh dengan simulasi. Hal ini akan meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan wawancara televisi agar kepercayaan diri dapat ditingkatkan dan penyampaian pesan bisa efektif.