Setiap menjelang tahun baru, setiap orang pasti sibuk mengulik tren terbaru. Termasuk, praktisi public relations (PR). Tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah ketika mereka lupa melakukan evaluasi kinerja komunikasi di tahun sebelumnya.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sebagai profesional di bidang komunikasi, Presiden Direktur Kiroyan Partners Verlyana V. Hitipeuw yang ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Rabu (15/1/2020), mengimbau agar PR tidak terjebak ke dalam euforia tren. “Tapi, untuk mengetahui tren yang sedang berkembang itu harus,” katanya.
Menurut perempuan yang karib disapa Veve ini, sebelum PR memutuskan untuk mengikuti tren, ada baiknya mundur sedikit ke belakang untuk melakukan evaluasi. “Evaluasi membantu kita untuk membuat langkah kerja yang benar,” ujar peraih master Bonn-Rhein-Sieg University of Applied Sciences dan University of Bonn, Jerman.
Dari evaluasi inilah, PR dapat mendiagnosis efektivitas kegiatan komunikasi yang telah dilakukan apakah berhasil, kurang berhasil, atau bahkan gagal. Dan, untuk memastikan strategi kita masih relevan, perlu dikembangkan, atau malah diganti.
Jadi, jangan buru-buru memutuskan mengikuti tren. Tren juga tidak selalu identik dengan melakukan hal yang baru. “Setelah dievaluasi, bisa jadi hasilnya ternyata kita hanya perlu memperbaiki kegiatan komunikasi yang selama ini sudah dilakukan,” imbuhnya.
Untuk melakukan evaluasi kinerja komunikasi, Veve mengajak PR untuk menengok lagi kerangka evaluasi yang dikeluarkan oleh International Association for Measurement and Evaluation of Communication (AMEC). Berdasarkan metode AMEC, langkah pertama yang harus dilakukan saat melakukan evaluasi adalah melihat kembali kepada tujuan komunikasi. Umumnya terdiri dari tiga: meningkatnya level awareness, adanya penerimaan (acceptance), dan perubahan sikap (action). Kedua, pastikan objektif komunikasi sejalan dengan tujuan strategis perusahaan. “Ini penting. Sebab, fungsi komunikasi tidak bekerja di ruang hampa. Dia adalah enabler untuk perusahaan mencapai tujuan strategisnya,” kata perempuan yang juga dosen untuk mata kuliah reputation management.
Riset
Maka dari itu, imbuh Veve, jangan lekas merasa puas dan menganggap kinerja komunikasi kita berhasil hanya melihat dari besaran jumlah (kuantitatif). Contoh, menganggap sukses hanya karena sudah melakukan banyak event atau banyak media yang meliput. Pertanyaannya, kembali kepada objektif komunikasi tadi. Apakah dengan melakukan banyak event, level awareness benar-benar tercapai? Apakah banyaknya artikel yang diterbitkan media membantu perusahaan mencapai tujuan strategisnya?
Bisa jadi karena terlalu sibuk mengadakan event dan membangun kedekatan dengan media, PR melupakan stakeholder yang lain. Misalnya, hubungan dengan pemerintah, atau bahkan dengan kalangan internal. “Ingat, kontribusi PR membantu objektif perusahaan itu dapat dilihat dari dua hal. Pertama, reputasi yang baik. Kedua, dukungan stakeholders,” katanya seraya mendorong PR untuk melakukan stakeholder mapping sebelum memulai stakeholder engagement.
Tak kalah penting, lakukan riset. “Riset jangan dilihat dari sudut pandang yang rumit. Tidak perlu selalu melibatkan responden dalam jumlah besar. Lakukan saja dulu sesuai kebutuhan,” ujarnya. Riset bisa dilakukan melalui metode kualitatif/bertanya langsung kepada stakeholder, kuantitatif, atau bahkan dekstop research (googling). Hasil riset inilah yang nantinya akan memperkaya strategi, perencanaan dan taktik yang akan digunakan oleh PR untuk mencapai objektifnya. Baru kemudian kita melihat apakah tren yang sedang berkembang ini relevan dilakukan untuk mendukung PR mencapai objektif komunikasi dan perusahaan, atau belum perlu. “Jadi, kegiatan komunikasi kita research based dan objective driven,” ujarnya.
Pada akhirnya, dengan melakukan evaluasi, PR dapat lebih fokus dalam bekerja. Sebab, pendekatan yang digunakan adalah sniper approach. Tidak perlu mengeluarkan banyak “peluru”, tenaga, dan upaya besar, tapi efektif. Dan yang paling penting, sesuai target. (rtn)