Di tengah hubungan antara lembaga dengan publik makin dinamis, dunia public relations (PR) tidak bisa lagi dilihat dengan cara yang sama. Mereka tak hanya dituntut memiliki kemampuan teknis, tapi harus bisa analisis.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Tahun 2019, seluruh lini industri, termasuk PR merespons perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyebabkan munculnya Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Perkembangan yang terjadi selama kurun waktu tersebut mengerucut pada satu kesimpulan, teori-teori tentang PR yang dibuat sebelum tahun 2000-an sudah tidak mampu lagi menanggung dinamika relasi antara lembaga dan publik.
“Sekarang begitu banyak hal yang borderless. Publik tidak bisa hanya dipetakan menjadi publik relevan dan publik tidak relevan,” kata Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Muhammad Sulhan saat ditemui oleh PR INDONESIA di sela-sela acara Konvensi Nasional PERHUMAS (KNH) 2019 di Yogyakarta, Senin, (16/12/19).
Pria yang juga merupakan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebutkan bahwa saat ini publik relevan bergerak setiap saat karena adanya peran netizen atau warganet. Netizen diambil dari kata citizen yang berarti masyarakat sipil. Diberi imbuhan net yang berarti netizen adalah masyarakat sipil yang di satu sisi nyata, tapi juga maya. Artinya, PR harus menangani publik yang berada di dunia yang paralel. “Ini bukan pekerjaan ringan,” imbuhnya. Tapi, PR bisa menyiasatinya dengan alat analisis yang dahsyat, yaitu big data.
Untuk bisa melakukannya, Sulhan melanjutkan, pelaku PR tidak bisa hanya menguasai skill, tapi harus bisa analisis. “PR hari ini adalah PR yang harus bisa membaca angka, memberi tafsir atas angka, dan meresponnya dengan baik,” katanya. Sebab, pada era teknologi ini, angka adalah hal yang paling mudah dibahasakan.
Hadapi Dinamika
Memasuki tahun 2020, akademisi yang juga merupakan Kepala Prodi Ilmu Komunikasi UGM ini mengatakan, dinamika-dinamika ini akan terus berlanjut. Menyikapi hal tersebut, ia menyebutkan beberapa hal yang harus dimiliki PR di masa depan.
Pertama, PR harus open minded, tidak boleh pragmatis atau terjebak pada kepentingan jangka pendek. Selain itu, PR juga tidak boleh terjebak pada paham radikal partisipatif. Karena, PR adalah karakter manajemen dan paham yang demikian akan merusak.
Kedua, PR harus belajar cepat. Kemampuan berbahasa, menulis rilis, saat ini tidak lagi cukup. “PR dikutuk untuk belajar semua hal,” ujarnya. Sebut saja, psikologi, sosiologi, sampai teknologi. Sulhan bahkan menyampaikan bahwa PR harus dipaksa memiliki karakter yang sejajar dengan jurnalis. “Awalnya tidak banyak tahu, tapi dapat dengan cepat menemukan fakta dengan objektif,” katanya.
Terakhir, dari dunia pendidikan, ia menegaskan bahwa tantangan mencetak generasi-generasi baru PR tidak bisa hanya diselesaikan oleh dosen. Dosen memerlukan bantuan para praktisi PR untuk turut terjun ke dunia pendidikan. Sebab, para praktisi PR sudah punya amunisi yang tidak pernah ada di buku teks. Yaitu, pengalaman dan kiat-kiat dari kasus-kasus yang sudah pernah dihadapi.
“Mahasiswa perlu tahu bahwa dalam praktik di lapangan, kegagalan itu hal wajar. Justru harus menjadi evaluasi, formula apa yang kira-kira kurang pas. Jadikan ajang untuk belajar dan bangkit menjadi lebih baik,” ujar Sulhan, tegas. (den)