Perkembangan tren public relations (PR) juga patut disikapi serius oleh kalangan akademisi untuk mempersiapkan lulusan yang berkualitas sesuai kebutuhan industri dan perubahan zaman.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Masuknya praktisi ke dunia akademik diyakini mampu melengkapi proses belajar mahasiswa. Kehadiran mereka juga diharapkan mampu melahirkan lebih banyak lulusan yang berkualitas sesuai kebutuhan industri. Motivasi inilah yang mendorong Nurlaela Arief, peraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran, mendedikasikan hidupnya di dunia akademisi.
Lala, begitu ia karib disapa, sebelumnya dikenal sebagai pelaku PR. Ia berkarier di PT Bio Farma (Persero). Jabatan terakhir yang diembannya adalah Head of Corporate Communications. Dengan terlibat penuh di dunia kampus, ia tak hanya membahas ilmu teoritis, tapi juga bisa memberikan contoh implementatif berdasarkan pengalamannya sebagai PR.
Menurutnya, akademisi perlu memiliki kemampuan ini. Apalagi berdasarkan hasil pengamatannya selama bergabung di School of Business and Management Institut Teknologi Bandung. Tahun 2019 adalah tahun di mana para PR people mulai aware terhadap big data dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Ini adalah tanda perubahan yang sangat penting,” kata Director Communication & Alumni Relations SBM ITB yang ditemui oleh PR INDONESIA saat Konvensi Nasional Humas (KNH) 2019 di Yogyakarta, Senin, (16/12/2019). “Para calon PR sejak di bangku perkuliahan perlu dipersiapkan. Demikian juga para praktisi PR yang sudah terjun ke lapangan, harus lebih kreatif mengikuti perubahan,” imbuhnya.
Lala menegaskan bahwa PR people di 2020 harus beranjak dari sekadar awareness tentang big data dan AI. Lebih dari itu, PR harus bisa mendekatkan diri dengan big data dan AI. Sebab, kedua hal ini dapat memperkaya fungsi strategis PR, asal punya kemampuan mengoptimalkannya.
Analisis Data
Ia juga menyampaikan bahwa di tahun 2020, PR di perusahaan dan lembaga perlu terus menaruh perhatian terhadap penggunaan influencer sebagai media promosi. Mulai tren sejak 2019, influencer diperkirakan masih akan berkembang di 2020.
Lala tak memungkiri, influencer adalah salah satu strategi komunikasi yang efektif. Terutama, untuk melakukan empowering terhadap karyawan yang potensial untuk membantu branding perusahaan. Sebab, berdasarkan riset Nielsen, 92 persen responden lebih memercayai apa yang disampaikan oleh orang lain ketimbang konten yang disampaikan oleh akun resmi korporat sekalipun.
Selain itu, menurut UFC America, 48,7 persen orang akan lebih percaya pada saran anggota keluarga atau temannya. Oleh karena itu, internal influencers tidak perlu memiliki jumlah pengikut yang sangat banyak. Yang penting, kontennya solid dan memiliki insight yang bagus.
Melihat begitu banyak tren, Lala menekankan hal-hal yang harus dipelajari oleh mahasiswa, praktisi dan akademisi PR untuk menyambut dekade yang baru. Hal-hal fundamental yang menjadi basic professional PR tetap harus dikuasai. Selain, empat skill baru yang perlu diperhatikan. Antara lain, data analytics, influencer, media social handling, dan pembuatan konten. “Di antara semuanya, yang paling penting adalah kemampuan data analysis disertai komunikasi yang efektif dan clear. Sehingga, PR bisa menyampaikan hasil analisa data dengan baik kepada CEO,” tutup Lala. (den)