Media sosial turut memberikan sumbangsih besar dalam perkembangan dunia digital. Kondisi ini dipandang sebagai tantangan sekaligus peluang. Apa saja yang perlu diwaspadai oleh pelaku humas?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Wicaksono, pakar media sosial (medsos), ada dua perubahan paling mendasar yang terjadi di medsos. Pertama, cara berinteraksi masyarakat yang sudah berubah 180 derajat. Kedua, setiap individu kini mampu bertindak sebagai produsen konten. “Ibarat wartawan dadakan, mereka dapat memproduksi sekaligus menyebarkan informasi apapun di kalangan pengguna medsos lain,” katanya di hadapan peserta Festival Media Digital Pemerintah yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (9/12/2019),
Sementara itu, ujar pria yang beken dengan sapaan Ndoro Kakung di kalangan warganet tersebut, kelebihan medsos dibandingkan mainstream media adalah interaksi antara pembuat konten dengan audiens dapat terjadi dengan mudah. Hal inilah yang kemudian membuat keberadaan mainstream media mulai terdisrupsi.
Lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan, sebanyak 65 persen pengguna internet di Indonesia percaya terhadap kebenaran informasi di dunia maya tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu. Berita bohong yang disebarluaskan secara masif bukan tidak mungkin dianggap benar. “Kondisi post-truth ini membuat praktisi public relations (PR), termasuk government public relations (GPR), semakin kesulitan dalam menjelaskan segala sesuatunya,” ujarnya.
Belum lagi beragam fenomena yang terjadi di media sosial. Sebut saja, penyebaran hoaks, meme, doxing (mengumpulkan informasi pribadi seseorang untuk disebarkan ke publik tanpa persetujuan pemilik), ujaran kebencian, persekusi, kampanye hitam, hingga troller (mengunggah tulisan atau pesan yang tujuannya memprovokasi dan memancing emosi para pengguna internet), turut menjadi penyebab perubahan pola-pola komunikasi.
Selanjutnya, masyarakat kini cenderung lebih percaya dan mendengarkan informasi dari influencer atau key opinion leader ketimbang perusahaan atau pemerintah. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para praktisi humas, khususnya mereka yang bergerak di pemerintahan. “Hukum rimba sudah runtuh. Sekarang ini yang berlaku hukum api unggun. Yaitu, orang-orang yang disukailah yang akan menjadi influencers,” tuturnya.
Waspada Krisis
Untuk menyiasati terjadinya krisis di media sosial, ia mengimbau agar humas selalu sigap dan tepat dalam merespons. “Kecepatan dalam merespons menjadi kunci utama,” ujarnya. Adapun tekniknya, pertama, humas harus mampu meyakinkan pimpinan tentang pentingnya memiliki panduan krisis di media sosial. “Diskusi dengan pimpinan tujuannya untuk menyamakan persepsi tentang media sosial sebagai tools kehumasan,” ujar mantan Pemimpin Redaksi Beritagar.id itu.
Kuasai standard operating procedure (SOP) dari A sampai Z sebelum krisis membesar di medsos. Selanjutnya, tim medsos harus memiliki wewenang penuh untuk mengelola isu dan krisis yang berkembang. Dengan catatan, memiliki pemahaman luas, ketahui apa yang sebenarnya terjadi, sehingga mereka dapat sedini mungkin mendeteksi isu. “Tidak semua komentar di media sosial perlu ditanggapi secara serius,” katanya berpesan.
Di medsos sendiri, lanjut Wicaksono, terdapat dua macam sinyal. Antara lain, sinyal yang berkualitas/informasi dan sinyal dalam bentuk noise (bising/gaduh). “Informasi yang berkualitas, meskipun datangnya dari micro influencer, harus kita dengarkan. Sementara noise, meski keluar dari mega influencer sekalipun, harus kita abaikan,” tutupnya. (ais)