Ada kalanya program komunikasi, kampanye, atau event yang diselenggarakan oleh praktisi public relations (PR) tidak mendatangkan hasil yang maksimal. Bisa jadi penyebabnya karena PR tidak pernah melakukan riset sebelum melakukan eksekusi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Elizabeth Goenawan Ananto, founder and Director EGA briefings, riset diperlukan sebagai informasi awal untuk perencanaan program (design planning). Mulai dari mengetahui seberapa tertarik audiens terhadap tema yang kita angkat, apakah pesan yang disampaikan sudah cukup jelas, tujuan penyampaian informasi yang ingin dicapai—sekadar memberi tahu audiens, mengubah perilaku, atau bentuk penyampaian personal interest pimpinan. “Tanpa kita sadari, poinpoin ini sering kita abaikan. Kita hanya berasumsi dan merasa sudah bagus,” ujarnya di hadapan peserta Executive Program in Strategic Communication di Jakarta, awal Juli 2019 lalu.
Padahal, ia melanjutkan, manfaat riset itu besar. Mulai dari informasi menjadi lebih transparan dan detail. Baik itu perihal reputasi maupun dampak yang dirasakan oleh seluruh stakeholders. Selain itu, PR jadi mengetahui segala kekurangan yang ada di internal maupun eksternal perusahaan. Serta, lebih fokus pada kepentingan stakeholders ketimbang shareholders. “Kita perlu dukungan terlebih saat perusahaan sedang diterpa krisis. Jika kita bersikap transparan, maka tidak akan terlalu buruk dampaknya,” jelasnya.
Kesalahan yang kerap ditemui ialah event yang diselenggarakan oleh PR acap kali tidak memiliki tema yang jelas, tidak terukur, tidak relevan dengan permasalahan yang tengah dihadapi oleh perusahaan, atau bahkan kegiatan yang sifatnya sekadar bersenang-senang. Sehingga, perubahan perilaku yang diharapkan menjadi tidak terukur.
Terlebih bagi perusahaan/instansi yang kerap menggunakan jasa event organizer (EO) sebagai eksekutor acara. Ega, begitu Elizabeth karib disapa, menekankan bahwa PR sebagai pemegang core, sementara EO hanya bertugas sebagai pelaksana. “Jangan terbalik, EO jadi yang mengatur PR. Kalau dirasa tidak relevan, jangan pasrah,” tegasnya.
Berangkat dari Permasalahan
Untuk penentuan tema, PR INDONESIA Guru ini lantas memberi saran. Sebaiknya, tema bertumpu dari permasalahan atau risiko yang sedang dihadapi oleh perusahaan. Sementara event hanya sarana untuk memperkecil jarak antara apa yang diharapkan masyarakat dengan perusahaan. Upayakan buat sebuah event yang bertujuan untuk mengubah persepsi yang salah menjadi benar, serta meningkatkan awareness. Perlu ditekankan, alur perubahan persepsi itu selalu di awali dari yang negatif menjadi netral, baru positif.
Sementara itu, antara riset, pengukuran dengan evaluasi merupakan kesatuan utuh yang harus dijalankan oleh PR mulai dari melakukan pre-research sampai post-research. “Data harus dimulai dan diakhiri,” katanya. Sementara measurement merupakan output/hasil. Bisa dinilai dari sudah berapa kali PR menjalankan program, seberapa banyak, dan seberapa besar dampaknya. Seberapa efektif, efisien, interaksi, pengetahuan dan pemahaman dari target audiens. Terakhir, tahap evaluasi berupa outcome yang dapat dilihat dari seberapa jauh kesuksesan program, persepsi, kepercayaan, perubahan sikap dan perilaku.
Ega menjabarkan beberapa aturan dalam riset PR. Pertama, lakukan riset setelah itu putuskan programnya. Kedua, nilai dari riset bukan harganya. Contoh, akan lebih baik jika mengadakan kegiatan lima tahun sekali, namun sifatnya menyeluruh, daripada terlalu sering. Tiga, gali informasi. Empat, manfaatkan karyawan internal yang berpengalaman di bidang riset. Lima, hindari budget myopia. Enam, stay close in touch. Terutama bagi PR perusahaan/instansi yang menggunakan jasa konsultan. Tujuh, siap beraksi. Delapan, terbuka terhadap segala hasil riset. Terakhir, jangan mengandalkan riset yang sama untuk beberapa waktu ke depan karena kondisi perusahaan terus berubah dan berkembang. (ais)