Faktanya, tak mudah bagi pelaku media menarik pembaca lewat konten/berita positif atau tema yang mengangkat kearifan lokal.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti yang disampaikan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut di sesi gelar wicara Konvensi Nasional PERHUMAS (KNH) 2019, memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi para pelaku media.
Ekosistem media baru di Indonesia kini sangat dipengaruhi oleh perusahaan teknologi atau biasa disebut tech company. Tech company menjadi perantara kunci antara media yang mendistribusikan konten melalui internet dengan audiens. Hasil survei menunjukkan, saat ini orang yang mencari berita langsung dari laman resmi media hanya 20 hingga 30 persen. Sisanya, 70 persen, lebih memilih mengetik kata kunci topik berita di mesin pencari seperti Google.
Perubahan lanskap ini memaksa media mengikuti cara kerja tech company agar tetap mendapat pembaca. Semua media berlomba-lomba berada di peringkat pertama, atau minimal halaman pertama hasil pencarian di mesin pencari. Untuk mendorong naiknya peringkat ini, media mengandalkan search engine optimization (SEO).
SEO merupakan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Misalnya, penggunaan dan kuantitas kata kunci tertentu dalam suatu berita. Kriteria-kriteria ini memengaruhi cara pikir wartawan dan kerap kali membuat susunan berita menjadi kacau. Algoritma mesin pencari dan media sosial juga menambah maraknya berita hoaks dan clickbait. Sebab hoaks dan clickbait memiliki potensi lebih besar untuk menjadi viral dan mendatangkan lebih banyak iklan. Fenomena ini membuat media yang memuat konten berkualitas namun tidak populer, seperti kearifan lokal, kesulitan mendapat perhatian audiens maupun pengiklan.
Peran Humas
Nah, agar bisa mengamplifikasikan kearifan lokal dengan maksimal, media tidak bisa bekerja sendiri. Media membutuhkan dukungan dari masyarakat, pihak swasta, dan pemerintah untuk tetap eksis dan konsisten membuat konten yang mengangkat kearifan lokal.
Wenseslaus memberikan anjuran agar humas memainkan perannya dalam meyakinkan stakeholders untuk tidak memasang iklan di situs yang hanya mengejar angka namun tidak berkualitas dan tidak bisa dipercaya.
Agus Sudibyo, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Indonesia sependapat. Menurutnya, para pengiklan harus mempertimbangkan placement iklannya di media. Jangan hanya melihat skala, tapi kualitas dan kepercayaan. “Pembaca dan pengiklan yang memprioritaskan media dan konten berkualitas akan mendukung ekosistem untuk membangun newsroom yang juga konsisten dengan konten positif,” katanya, tegas. (den)