Gaya komunikasi politik ‘blusukan’ pernah begitu populer di masa awal kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Apakah gaya komunikasi yang mengutamakan aspek kesamaan (equalitarian style) ini masih layak dipertahankan di tengah pesatnya perkembangan zaman?
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ditemui di sela-sela acara Konvensi Nasional Humas (KNH) 2019 di Yogyakarta, Selasa (17/12/2019), mantan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Adita Irawati justru memandang blusukan sebagai brand yang menunjukkan kekuatan sosok Jokowi yang kita kenal egaliter/mengedepankan persamaan derajat dan bisa diterima oleh semua kalangan. Di siamping itu, strategi ini dinilai cocok dengan komposisi masyarakat Indonesia yang cenderung berada di akar rumput. “Pola komunikasi beliau menurut saya sudah pas dan beliau sangat nyaman dengan itu. Jadi, memang harus terus dilanjutkan,” ujar perempuan yang baru saja menyelesaikan lomba lari sejauh 133 kilometer ini.
Dengan catatan, pesan besar yang akan disampaikan kepada masyarakat harus diolah sedemikian rupa, diamplifikasi dan iglorifikasikan dengan bantuan media baik media massa maupun internal, media sosial, hingga oleh third party endorser. Karena pada dasarnya goals yang ingin dicapai dari sebuah upaya komunikasi politik adalah agar masyarakat bisa mendapatkan informasi terkait pembangunan dan pencapaian pemerintah dengan jelas. Sekaligus, membangun reputasi dan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Pekerjaan rumah ini, lanjut Adita, lantas menjadi tanggung jawab besar yang diemban para juru bicara pemerintah, staf khusus presiden, serta seluruh praktisi humas pemerintah (GPR) baik yang ada di kementerian, lembaga, maupun daerah (K/L/D).
Tekan Ego
Ia tak memungkiri, di era kepemimpinan jilid I Jokowi, masih kerap terjadi ego sektoral antarkementerian dan lembaga. Bahkan, terdapat narasi-narasi yang tidak sinkron antara satu sektor dengan sektor lainnya. Tantangan inilah yang kemudian dijawab oleh Adita untuk melakukan upaya menyinergikan dan mengintegrasikan alur komunikasi antar K/L/D melalui narasi tunggal. “Kami di Staf Khusus berupaya mengorkestrasikannya supaya narasi ini bisa didesiminasikan dengan lebih terstruktur dan tersistem. Sehingga, masyarakat akan mendapatkan pesan yang satu napas,” ujar mantan VP Corporate Communications Telkomsel ini.
Hasilnya mengejutkan. Berdasarkan data “Government at a Glance 2017” yang dipublikasikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi-JK tahun 2016 mencapai angka 80 persen. Survei ini cukup membawa optimisme bahwa pola komunikasi yang telah dilakukan di periode pertama menunjukkan tren positif sehingga perlu dipertahankan. “Dengan catatan tetap melakukan upaya inovasi, terobosan, dan lompatan untuk mencapai kemajuan,” katanya lagi.
Sementara menyoroti tujuh dari total 14 staf khusus (stafsus) Presiden datang dari kalangan milenial dengan rentang usia 20 – 30 tahun, menurut Adita, dipastikan sudah melalui pertimbangan matang. Pertama, Presiden Jokowi ingin mendapat masukkan atas pemikiranpemikiran mereka yang dinilai pas dengan perkembangan zaman di era 4.0. Kedua, milenial memiliki karakteristik yang lebih gesit, dinamis, serta mampu beripikir out of the box. Ketiga, ketujuh anak muda terpilih ini datang dari komunitas yang memiliki peranan besar di Indonesia.
“Pak Jokowi berkali-kali mengatakan, kalau mau menjadi Indonesia yang lebih maju, cara-cara konvensional sudah tidak bisa dilakukan,” ungkapnya. “Nah, artinya kita harus berani mengambil terobosan dengan tetap mempertimbangkan risiko yang masih bisa dikelola dengan baik,” pungkasnya. (ais)