Bicara soal panduan krisis, ada baiknya kita berkaca pada perusahaan multinasional seperti Danone Indonesia.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Jumat sore (8/11/2019), Direktur Komunikasi Danone Indonesia Arif Mujahidin menekankan pentingnya perusahan memiliki panduan untuk manajemen krisis. Khusus Danone yang merupakan perusahaan multinasional, mereka mengacu pada panduan krisis manajemen global yang diterapkan di lebih dari 120 negara di mana Danone beroperasi.
Hal pertama yang harus dilakukan saat menyusun panduan krisis, menurut Arif, adalah membuat definisi krisis dan tahapan sebelum krisis, berikut ciri dan kriterianya. Sebab, tidak semua kejadian berujung krisis. Namun, ada juga kejadian yang langsung masuk kategori krisis. “Dengan mengetahui ciri-cirinya, kita jadi tahu langkah yang harus diambil. Langkah yang tepat bisa mencegah sebuah kasus sebelum insiden menjadi besar atau krisis makin melebar,” katanya.
Panduan krisis harus mengandung penjelasan tentang ciri dari sebuah kejadian, potensi apakah suatu kejadian berpotensi menjadi insiden bahkan menjadi krisis. Mendeteksi isu/kejadian berpotensi menjadi krisis, dan bagaimana melakukan penanganan yang sesuai. Di dalam buku manajemen krisis perusahaan juga harus memuat prosedur saat kejadian dinyatakan sebagai insiden atau krisis. Panduan ini dijadikan pegangan bagi Tim Manajemen Krisis yang ditunjuk perusahaan dan berisi acuan mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, siapa yang melakukan, hingga bagaimana cara melakukannya.
Bentuk Tim
Arif juga menekankan perlunya membentuk tim khusus yang bertanggung jawab mengelola krisis. Panduan tersebut harus menjabarkan secara detail mulai dari bagaimana tim krisis dibentuk, siapa saja yang terlibat dalam tim tersebut, lalu proses memetakan pemangku kepentingan, dan bagaimana berkomunikasi dengan mereka ketika terjadi krisis. Ia melanjutkan, tim krisis memiliki anggota tetap yang ditunjuk oleh perusahaan dan Tim Manajemen Krisis global. Keberadaannya diperkuat dengan Surat Keputusan (SK). Ketika ada kejadian yang bisa berpotensi memicu krisis, tim krisis akan berkumpul dan membahas langkah dan tugas pokok dan fungsi masing-masing anggota tim.
Menurut Arif, yang paling penting dalam menangani krisis adalah mengetahui akar permasalahannya dan bagaimana strategi komunikasinya. Contoh, ada jembatan ambruk yang mengganggu distribusi barang. Tim krisis harus memastikan upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi risiko, mengatasi persoalan, mencari alternatif solusi. Baru kemudian memikirkan cara mengomunikasikannya kepada pemangku kepentingan yang terdampak. “Komunikasi saat krisis menjadi penting untuk menghindari spekulasi dan informasi tidak benar (hoaks),” ujarnya.
Manual krisis juga harus memuat panduan komunikasi baik sebelum, pada saat hingga setelah krisis. Terdiri dari pendekatan yang dilakukan (standby statement) yang akan disampaikan, kapan, dan oleh siapa.
Begitu pentingnya kesiapan dalam menghadapi krisis, maka diperlukan pelatihan, simulasi, bahkan audit terhadap manajemen krisis secara periodik. Pelatihan merupakan bentuk penyegaran dan pembekalan. Pelatihan sebaiknya diikuti dengan simulasi. Contoh, simulasi saat berhadapan dengan media. “Dari sana kita bisa melihat kecakapan tim ketika dihadapkan dengan reporter dan kamera hingga cara yang bersangkutan menjawab,” imbuhnya. Panduan itu juga perlu diaudit baik oleh internal maupun eksternal, dan diperbaharui setiap tahun.
Penyelesaian krisis akan menjadi lebih cepat apabila didukung dengan disiplin dan panduan yang jelas. Setiap anggota inti tim manajemen krisis pun mengerti tugas dan perannya saat menghadapi krisis. “Semakin sering simulasi dan pelatihan, semakin kita siap menghadapi krisis. Potensi krisis makin cepat terdeteksi dan lebih mudah untuk diredam,” tutupnya. (mai)