ROUND UP: Pentingnya Memiliki Panduan Krisis
PRINDONESIA.CO | Rabu, 11/12/2019 | 7.826
ROUND UP: Pentingnya Memiliki Panduan Krisis
80 persen krisis disebabkan oleh opini publik. Sementara 69 persen krisis berasal dari hal kecil yang tidak tertangani hingga menumpuk menjadi besar.
Dok. PR INDONESIA

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kondisi ini salah satunya tercermin dari kurang antusiasnya peserta mengikuti kompetisi untuk kategori Panduan Pengelolaan Krisis pada ajang PR INDONESIA Awards (PRIA) 2019. Jika pun ada, jumlahnya jauh menurun.

Menurut Maria Wongsonagoro, juri untuk kategori tersebut, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah peserta yang sudah pernah ikut serta dan tidak mempunyai hal baru yang menonjol dan bisa ditunjukkan kepada dewan juri.

Padahal menurut  PR Consultant and President Director of IPM Public Relations tersebut, panduan krisis harus diperbaharui setiap tahun. Bahkan diaktivasi dengan mengadakan pelatihan dan simulasi. “Kalau tidak begitu, bagaimana kita tahu kita sudah battle ready (siap tempur)?,” ujarnya seraya bertanya.

Ia juga prihatin karena masih menemukan panduan krisis yang isinya kurang mendetail dan sistematis. “Jika terasa sulit dalam membuat panduan krisis, sebaiknya didampingi mentor,” katanya.

Senada dengan Maria, Nico Watimena yang merupakan juri PRIA 2019 untuk kategori yang sama, berpendapat panduan krisis harus mencakup lesson learned. Untuk itu, ungkapkanlah isu, krisis hingga cara penangangannya secara gamblang. 

 

Berkembang

Marianne Admardatine, CEO Wunderman Thompson, memandang serius kondisi ini. Apalagi era disrupsi telah melahirkan kategori krisis baru. “Jika dulu kita hanya mengenal tujuh kategori, sekarang ada empat kategori baru. Hoaks, radikalisme, eksklusi keagamaan, dan misleaded social behavior,” katanya saat menjadi pemateri di sesi pararel workshop Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #5 di Bali, akhir Oktober lalu. Untuk itu, masihkah kita menunda memiliki panduan krisis?

Menurut riset yang dipaparkan Marianne, 80 persen krisis disebabkan oleh opini publik. Sementara 69 persen krisis berasal dari hal kecil yang tidak tertangani hingga menumpuk menjadi besar. Dari data ini dapat disimpulkan sinyal-sinyal terjadinya krisis selalu ada.

Pertanyaannya, ketika sudah terjadi, siapkah kita mengaktifkan sistem 4R (readiness, radar, response, dan recovery)? “Panduan komunikasi krisis ini perlu disusun dengan runut. Apabila memungkinkan, buat aplikasi manajemen krisis,” katanya.

Kalau menurut Managing Director Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication Firsan Nova, sebaiknya jangan menunggu sampai krisis terjadi. Apalagi di saat semua serba on-line, berlaku rumus baru. Good news travel fast, bad news travel faster. Ketika krisis terjadi tiga dampak akan terjadi sekaligus: Image, reputasi, dan stabilitas finansial.

Menurut Firsan, ada dua upaya yang harus dilakukan PR berkaitan dengan krisis. Pertama, upaya kuratif (mengidentifikasi, mengisolasi, dan menangani krisis). Kedua, preventif (menumbuhkan kepercayaan, membina hubungan yang baik dengan aparat pemerintah, membangun benteng pertahanan dari lini terbawah, dan menyiapkan program manajemen krisis).

Ketika krisis sudah terjadi, lakukan pendalaman data dan fakta. “Buat opinion leader map analysis, lakukan analisis media, tangani isu sesuai dengan karakter bisnis,” katanya. Lalu, siapkan paket informasi, batasan isu dan dampaknya, posisikan citra perusahaan, tim crisis center, dan tunjuk unofficial spokes person.  

 

Belajar dari Pengalaman

PT Pertamina EP Jatibarang Field adalah perusahaan yang sudah merasakan besarnya manfaat memiliki panduan krisis. Seperti ketika anak usaha PT Pertamina (Persero) ini menangani krisis saat terjadi semburan gas rawa di sekitar sumur BDA-02 (Bangadua) Desa Pagedangan, Kabupaten Indramayu, tahun 2018. Dengan adanya panduan krisis, perusahaan tak hanya berhasil menghimpun analisis yang benar sehingga dapat melakukan tindakan yang tepat, tapi juga sigap membantu,  dan berkomunikasi sehingga krisis cepat tertangani.  

Instansi/korporasi yang juga telah memiliki panduan krisis antara lain Kementerian Pariwisata. Kementerian yang kini menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) itu meyakini keberadaan buku manual krisis itu penting dalam rangka menjaga keberlanjutan ekosistem pariwisata yang kondusif yang memilki kapasitas serta daya tahan terhadap ancaman dan risiko krisis. Apalagi sudah kodratnya negeri ini “bersahabat” dengan krisis.  

Kementerian yang saat ini dipimpin oleh Wishnutama  itu lantas membentuk Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK), bagian yang khusus menangani pengelolaan krisis kepariwisataan dalam kerangka kerja kehumasan dan respons operasional pariwisata. Bagian ini bersifat permanen dan bekerja secara reguler di bawah Biro Komblik. Sementara dalam skala krisis yang lebih kompleks, Kemenparekraf mempunyai platform kelembagaan ad hoc berupa Tourism Crisis Center (TCC).

Pun demikian dengan Pemprov Jawa Barat. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, mencapai 18,3 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia, menjadikan Jabar memiliki banyak potensi sekaligus isu dan krisis. Memiliki panduan krisis menjadi kewajiban. Dalam mengelola dan berhadapan dengan isu/krisis, Pemprov Jabar mengedepankan asas RAK (responsif, adaptif, dan kohesif). Responsif bermakna peka terhadap potensi isu dan cepat tanggap menyelesaikan masalah. Adaptif, mudah menyesuaikan terhadap kondisi ketika dibutuhkan. Sementara kohesif berarti bersatu padu, suara dan komando.

Pemkot Surabaya memiliki enam langkah mitigasi isu yang selalu diterapkan secara konsisten oleh tim Humas Pemkot Surabaya. Langkah pertamanya diawali dengan melakukan inventarisasi isu setiap hari di media cetak. Executive summary wajib dilaporkan kepada pimpinan—dalam hal ini Kabag Humas—untuk selanjutnya diteruskan kepada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menurut Kabag Humas Pemkot Surabaya Febriadhitya Prajatara, executive summary diperlukan untuk mengendalikan isu yang berkembang di media massa.

Sementara bagi Danone Indonesia, panduan krisis itu harus mengandung unsur runut dan detail. Mereka juga menekankan perlunya membentuk tim saat krisis. Bahkan, tim tersebut sebaiknya bersifat permanen dan keberadaannya diperkuat dengan SK. 

Menurut Direktur Komunikasi Danone Indonesia Arif Mujahidin, penyelesaian krisis akan menjadi lebih cepat apabila didukung dengan disiplin dan panduan yang jelas. anggota inti tim manajemen krisis pun mengerti tugas dan perannya saat menghadapi krisis. Akan lebih sempurna jika rutin melakukan pelatihan, simulasi, dan audit. “Semakin sering simulasi dan pelatihan, semakin kita siap menghadapi krisis. Potensi krisis makin cepat terdeteksi dan lebih mudah untuk diredam,” katanya. (Ratna Kartika)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI