Di era disrupsi, banyak hal yang berubah. Kondisi ini memunculkan kategori krisis di dunia public relations (PR). Apa saja?
BALI, PRINDONESIA.CO - Marianne Admardatine, CEO Wunderman Thompson, mengatakan, dalam teori yang umum dipelajari, krisis diklasifikan ke dalam tujuh kategori. Antara lain, technology crisis, financial crisis, natural crisis, crisis of malice, crisis of deception, crisis of organizational misdeeds, dan workplace violence. Sekarang, muncul empat kategori tambahan. Meliputi hoaks, radikalisme, eksklusi keagamaan, dan misleaded social behavior.
Menurut riset yang dipaparkan Marianne, 80 persen krisis disebabkan oleh opini publik. Sementara 69 persen krisis berasal dari hal kecil yang tidak tertangani hingga menumpuk menjadi besar. Dari data ini dapat disimpulkan sinyal-sinyal terjadinya krisis selalu ada. “Praktisi PR perlu rajin mengamati (observant) dan menjadi pendengar yang baik agar bisa mendeteksi gejala krisis sejak dini. Sebab, krisis adalah produk eskalasi dan perlu diidentifikasi sejak dini,” katanya di Bali, Rabu (30/10/2019).
4R
Oleh karena itu, penting bagi institusi/ korporasi memiliki sistem manajemen krisis yang terdiri dari panduan komunikasi krisis dan mitigasi krisis. Ada 4R manajemen krisis. Yakni, readiness, radar, response, dan recovery. Sesuai namanya, readiness mempersiapkan lembaga/perusahaan menghadapi krisis. Dimulai dari membentuk tim khusus manajemen krisis yang terdiri dari penasihat krisis dan pakar media sosial. Spesialisasi penasihat krisis yang dibutuhkan adalah media relations specialist, operations liaison, spokes-person, legal team, dan PR specialist. Sementara spesialisasi tim pakar media sosial meliputi social strategist, social media/community manager, social analyst, search specialist, dan content producer.
Setelah itu lanjut ke-R yang kedua, radar. Caranya dengan membuat Response Management SOP and Crisis. Diawali dengan monitoring dan evaluasi pesan. Monitoring dilakukan dengan cara memantau tweets, video, foto, forum, dan blog posts terkait perusahaan dan tren yang berhubungan dengan brand. Lalu, evaluasi pesan untuk menentukan skala prioritas. “Ada dua faktor kunci untuk mendeteksi tingkat urgensi pesan. Pertama, relevansi, tone, volume, dan kecepatan peredaran pesan. Kedua, seberapa besar pengaruh pihak yang menyampaikan pesan,” ujar Marianne.
Langkah ketiga, response. Skenario respons untuk masing-masing tingkat urgensi pesan harus disusun dari awal. Jangan menunggu krisis. Diawali dari kode hijau (pesan mengandung ancaman yang rendah dan diunggah oleh pihak yang tidak terlalu berpengaruh). Jika ancaman dilengkapi data, segera berikan respons di media sosial dan laman resmi perusahaan. Lakukan monitoring rutin terhadap isu tersebut.
Kode kuning (pesan bernada cukup mengancam dan disampaikan oleh pihak yang lebih berpengaruh). Selesaikan terlebih dahulu seluruh langkah yang dibutuhkan untuk kode hijau. Setelah itu lakukan monitoring dan pelaporan dua kali sehari. Buat pernyataan klarifikasi resmi di berbagai media sosial dan laman resmi perusahaan, serta situs yang relevan. Peringatkan dan persiapkan respons bagi karyawan, stakeholders dan rekanan agar mereka siap jika sewaktuwaktu terlibat.
Kode merah (isu bernada sangat mengecam dan menyudutkan, disampaikan oleh individu/organisasi yang sangat berpengaruh). Lengkapi seluruh aksi yang diperlukan untuk kode hijau dan kode kuning secepat mungkin. Pastikan ada sinergi antara call centers, juru bicara, dan bagian operasional. Kembangkan taktik respons mulai dari respons di media sosial, marketing melalui mesin pencari, gandeng media konvensional, unggah informasi rutin di laman resmi perusahaan. “Seluruh respons yang dikeluarkan, terutama pada masa krisis membutuhkan kecepatan, sumber yang kredibel, dan kontrol yang tinggi,” katanya.
Terakhir, recovery. Pulihkan reputasi dengan membuat analisa pembangunan reputasi. Lakukan audit strategi dan taktik media sosial. Buat rencana pertumbuhan dan perlindungan reputasi, bangun susunan narasi yang efektif dan strategi konten. Terakhir, aktivasi rencana-rencana tersebut dan segera kembalikan citra lembaga/perusahaan. “Panduan komunikasi krisis ini perlu disusun dengan runut. Apabila memungkinkan, buat aplikasi manajemen krisis,” tutupnya. (den)