Banyak praktisi public relations (PR) beranggapan kerja sama iklan antara korporasi dengan media dapat melepaskan korporasi dari pemberitaan negatif. Padahal, iklan dan pemberitaan merupakan dua hal berbeda.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Hal inilah yang diungkapkan Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers Asmono Wikan dalam workshop Media Crisis Handling & Photojournalism 2019 di Jakarta, Jumat (6/12/2019). Dalam pelatihan yang diikuti oleh karyawan Strategic Management Region dan Performance Channeling Region BNI tersebut, pria yang merupakan founder and CEO PR INDONESIA itu mengatakan, dengan beriklan tak lantas membuat korporasi terlepas dari berita negatif.
Menurutnya, berita itu berkaitan dengan news value, sedangkan iklan adalah wadah korporasi menyapa target audiensnya. “Kerja sama kedua belah pihak tidak lantas bisa membuat iklan menjadi jalur dialog untuk menutupi berita negatif,” imbuhnya.
Ada dua faktor berita negatif tentang korporasi mencuat di media. Pertama, permintaan publik akan berita tersebut. Kedua, kepentingan media itu sendiri. Tentu, berbeda faktor berbeda pula cara PR menyikapinya.
Untuk menghadapi faktor pertama, kata Asmono, PR harus lebih dulu memahami cara kerja media. Sejatinya, media bekerja untuk kepentingan publik. Media juga harus melakukan verifikasi sebelum menayangkan berita tersebut. Selain itu, harus memenuhi unsur cover both sides yang artinya keseimbangan antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam berita tersebut.
Jika ada kekeliruan dalam penulisan berita, pihak korporasi dapat meminta hak koreksi pada media yang bersangkutan. Apabila kesalahan dapat mengganggu reputasi, korporasi juga memiliki hak jawab. Bahkan, pihak korporasi dapat mengajukan aduan langsung ke Dewan Pers.
Sementara untuk menghadapi faktor kedua, praktisi PR harus cukup berani untuk mengatakan bahwa mereka paham cara kerja media. “Media bekerja sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jika terjadi pelanggaran, akan diproses secara etik oleh Dewan Pers,” ujarnya.
Jika informasi negatif yang ditulis media terbukti tidak benar, maka hal ini dapat mengancam reputasi media itu sendiri. Jika hal ini terjadi, bisa saja tidak ada perusahaan yang ingin bekerjasama dengan media itu lagi karena terbukti tidak kredibel.
Sebaliknya, berita negatif juga tidak bisa digunakan media sebagai sinyal untuk pemasangan iklan. Karena itu, ia berpesan agar praktisi PR rutin mengadakan kunjungan ke media. Jika memungkinkan, praktisi PR harus rutin mengadakan pertemuan dengan petinggi media tersebut untuk menjelaskan latar belakang dari isu-isu yang mungkin akan berkaitan dengan perusahaan. Sehingga, tidak terdapat kesalahan persepsi di kemudian hari. (rvh)