Perkembangan digital memaksa public relations (PR) berbenah. Apalagi semenjak kecerdasan buatan hadir di muka bumi. Jika tidak ditanggapi serius, keberadaannya bakal mengancam aktivitas kehumasan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Head of Corporate Communications PT Astra International Tbk Boy Kelana Soebroto, pemanfaatan digital dan teknologi di korporasi tempatnya bekerja tidak terlepas dari upaya PR untuk membangun reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan.
Keberadaan digital PR bertujuan untuk menjalin engagement dengan konsumen di dunia digital. Ia juga dituntut mampu memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan informasi secara efektif, selektif, serta memahami peta media. Apalagi media massa berbasis digital di Indonesia berkembang begitu pesat.
Digital PR juga terlibat dalam upaya perusahaan mengedukasi masyarakat. “Konten-konten yang menginspirasi akan lebih berbunyi daripada konten-konten yang tidak berisi,” ujar Boy melalui jawaban tertulis, Minggu (13/10/2019).
Fungsi digital PR akan makin maksimal dengan dukungan big data dan kecerdasan buatan (artificial Intelligence). Melalui keduanya, PR dapat memiliki informasi berupa kebiasaan (behavior) yang sebelumnya sulit dikuantifikasi. Kondisi ini juga memungkinkan PR melakukan monitoring terhadap stakeholders, sehingga pesan yang akan disampaikan lebih relevan dan sesuai dengan audiens yang disasar.
Selain itu, aktivitas digital PR yang atraktif dan interaktif diakui Boy lebih efektif serta efisien bagi brand dalam menyampaikan pesannya kepada publik ketimbang melalui iklan secara konvensional. Keberadaan social media listening tools juga memudahkan PR mendeteksi potensi isu yang berkaitan dengan brand, merespons isu lebih dini dan tepat sehingga tidak berubah menjadi krisis, memantau brand mention, dan sentimen sosial terhadap brand. Bahkan, dapat memberikan peringatan terhadap adanya lonjakan aktivitas. “Petunjuk ini bisa segera kita gali dan tindaklanjuti,” kata Wakil Ketua Umum III BPP PERHUMAS itu.
Berbenah
Astra sendiri sudah lama menyadari pentingnya penggunaan digital dalam mengomunikasikan pesan-pesan perusahaan. Untuk itu, mereka pun segera berbenah. Mulai dari memaksimalkan penggunaan website, media sosial, optimasi listening tools, kolaborasi dengan konten, digital placement, hingga pengunaan AI untuk crowd counting dan emotional detection. “Di era digital, kami sebagai PR dituntut untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang begitu dinamis, belajar berbagai kasus, mengikuti setiap perkembangan informasi baik di media massa maupun sosial,” ujar pria kelahiran Hong Kong ini.
Menulis secara kreatif pun menjadi hard skill yang mutlak dimiliki praktisi digital PR. Ditambah, kemampuan menganalisis audiens/konsumen/publik, memahami fungsi dan karakter setiap platform media digital, mengedit foto/video, dan lainnya. Sementara rasa ingin tahu, berpikiran terbuka, tanggap terhadap lingkungan sekitar, dan menjadi PR untuk diri sendiri adalah soft skill yang harus ada dalam setiap insan PR.
Semua kompetensi ini wajib dimiliki karena praktisi PR harus siap menghadapi media sosial yang liar, bebas, dan tidak terprediksi. “Kita harus siap dengan data ketika dihadapkan oleh gejolak di dunia maya,” kata alumni Universitas Sebelas Maret. Komunikasi yang digunakan juga harus efektif sebab komunikasi di media sosial adalah emosi. Semua orang ingin menjadi diri sendiri di akunnya masing-masing.
Salah merespons berujung merusak reputasi. Untuk itu, PR harus dibekali dengan perencanaan yang baik. Ia meyakini segala sesuatu yang direncanakan secara matang, lalu dievaluasi dan dikoreksi akan menciptakan usaha-usaha berkelanjutan (continous improvement). “Di Astra, kami selalu melakukan plan, do, check, action (PDCA),” ujarnya. (mai)