Elvera, Citi Indonesia: Berkomunikasi dengan Etika dan Penuh Empati
PRINDONESIA.CO | Kamis, 05/12/2019 | 3.160
Elvera, Citi Indonesia: Berkomunikasi dengan Etika dan Penuh Empati
PR wajib memastikan pemimpinnya bicara dengan benar, tepat, menunjukkan empati besar, jujur, dan terbuka ketika menghadapi publik.
Hendra/PR Indonesia

Elvera N. Makki - Director and Country Head of Corporate Affairs Citi Indonesia

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di dunia public relations (PR), Vera bagaikan kepompong yang sudah berubah menjadi kupu-kupu nan cantik. Awalnya, Vera adalah pemalu. Bertahun-tahun, perempuan yang terpilih sebagai 50 Asia Woman Leaders, Top 100 Most Impactful CSR Leaders, Head of Corporate Communications of The Year, hingga Best Presenter di ajang PR INDONESIA Awards (PRIA) 2019 tersebut berupaya menaklukkan kelemahannya. Sampai akhirnya, ibu dari tiga anak yang kini merupakan Presiden International ABC-Indonesia Chapter itu menemukan jalannya dan bertekad menjadi profesional di bidang PR. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, Vera berkisah. Berikut kutipannya.

 

Apa isu yang mengemuka yang dihadapi pelaku PR di industri finansial, khususnya perbankan?

Seperti kebanyakan dari semua industri yang berkaitan dengan nasabah, isu yang kerap muncul berkaitan dengan risiko-risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam melakukan transaksi perbankan. Sehingga, perlindungan konsumen merupakan suatu isu yang harus selalu kami pantau. Kami juga harus memastikan semua pelanggan memiliki pengalaman yang remarkable, mulai dari upaya meminimaliasi keluhan hingga memberikan solusi dan kenyamanan kepada nasabah saat masalah muncul. Termasuk, melindungi konsumen dengan cara memberikan edukasi. 

Selain itu, perbankan adalah industri yang highly regulated serta erat terkait dengan manajemen risiko. Risiko di manajemen itu banyak. Setiap risiko memiliki owner masing-masing. Nah, saya adalah owner dari risiko reputasi (risk reputation). Segala risiko yang terkait dengan reputasi ada di bagian Corporate Affairs di bawah departemen saya, selain internal, external communication dan corporate social responsibility (CSR).

 

Apa peran PR dalam hal Corporate Affairs?

Ada tiga peran yang harus dilakukan oleh Corporate Affairs. Yakni, prevent, preempt, promote. Pertama, prevent. Maksudnya, mengantisipasi isu atau potensi masalah sedini mungkin agar tidak meluas menjadi krisis. Sementara preempt adalah upaya agar kita mendapatkan informasi dan insight mengenai perkembangan yang terjadi di lingkungan sekitar, terutama stakeholder kami, yang bisa berdampak langsung kepada keberlangsungan bisnis perusahaan. Caranya, dengan banyak bergaul, membangun dan merawat relasi dengan pemerintah, asosiasi, rekan media, dan lainnya. Terakhir, promote. Yakni, menceritakan hal-hal positif terkait bisnis perusahaan. 

 

Seperti apa tantangannya?

Teknologi yang demikian cepat, termasuk informasi, membuat kita harus bisa terus beradaptasi dengan perkembangan terkini. Sehingga, kami dapat melakukan komunikasi yang efektif dan tepat dengan stakeholder kami. Gejolak yang begitu banyak ini membuat kami harus selalu cepat tanggap, berevolusi menerima perubahan tanpa banyak mengeluh.

Kepada media, misalnya, lanskap medianya sudah mengalami banyak perubahan. Karena hal itu, kami dituntut untuk mencari bentuk dan strategi yang paling tepat untuk membangun relasi dengan mereka. Jika sebelumnya konferensi pers adalah cara berkomunikasi yang efektif, sekarang bisa dimaksimalkan dengan memanfaatkan keberadaan media sosial dan grup WhatsApp. Tapi, kompetitor juga melakukan hal sama hingga tiba masanya kita berada di titik jenuh. Artinya, kita harus secara berkala melakukan riset untuk menemukan inovasi atau terobosan cara berkomunikasi yang baru dan efektif.   

 

Di era seperti sekarang, kompetensi apa yang dibutuhkan seorang PR?

Cepat dan tanggap mengikuti perkembangan industri di mana PR itu bekerja. Saya, misalnya, fokusnya di pergerakan industri perbakan. Kami di tim Corporate Affairs Citi Indonesia harus memastikan dapat membantu bisnis perusahaan dengan cara melakukan komunikasi yang tepat kepada orang-orang yang tepat pula. Agar sampai ke sana, kita harus tahu perilaku (behaviour) mereka supaya kita bisa menyampaikan informasi dan pesan dengan cara yang relevan.

Selain itu, di era digital seperti sekarang, belajarlah digital communication, digital marketing, visual communication, hingga short video. Kemas konten dengan metode storytelling, lalu salurkan melalui saluran digital yang tepat.

 

Menurut Anda, apa yang harus dilakukan PR ketika terjadi krisis? 

Praktisi PR harus bisa mengantisipasi aksi dan komunikasi. Ia wajib memastikan pemimpinnya bicara dengan benar, tepat, menunjukkan empati besar, jujur, dan terbuka ketika menghadapi publik. Kalau ada satu saja caranya yang salah, masalah makin panjang, efeknya kian meluas, dana yang harus dikeluarkan pun kian besar. 

Jadi, menurut saya, yang paling penting bagi praktisi PR adalah mengelola isu agar tidak menjadi krisis. Krisis terjadi karena isu tidak bisa dikelola baik dari sisi komunikasi maupun bisnisnya. Pencetusnya karena ada lack of communication and coordination. Itulah sebabnya setiap institusi harus memiliki komite terkait manajemen isu. Komite yang beranggotakan para pemimpin tersebut wajib melakukan pertemuan secara berkala guna membahas isu atau potensi isu yang berisiko mengganggu keberlangsungan bisnis.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, setiap manajamen itu memiliki risiko. Tiap risiko ada pemiliknya. Saya, misalnya, sebagai owner dari risiko yang menyangkut reputasi bisnis, ketika perusahaan akan melakukan peluncuran produk harus mampu melihat dan mengantisipasi isu yang kemungkinan muncul. Risiko-risiko itu harus dikemukakan di dalam forum untuk kemudian dicari jalan keluarnya. Sehingga, ketika produk itu diluncurkan, kami semua sudah siap. Ketika PR sanggup memotong isu menjadi krisis, itulah PR yang keren (hebat).

 

Mana yang menurut Anda paling menantang: mengomunikasikan internal, eksternal atau CSR?

Semuanya menantang. Tantangannya berbeda-beda, tapi mengasyikkan. Internal, misalnya, terkait bagaimana mengomunikasikan nilai-nilai perusahaan, etika dalam bekerja, dan pengetahuan mengenai proses bisnis perusahaan. Apalagi untuk perusahaan multinasional sebesar Citibank perlu memiliki komunikasi internal yang baik dan solid sehingga setiap karyawan bisa menjadi duta bagi perusahaan.

Untuk sampai ke tahap itu, mereka harus mendapat informasi yang benar dan tepat. Tapi, mereka tidak bisa menyerap informasi 100 persen. Untuk itu, kita harus mampu memberikan informasi sesuai relevansi mereka. Di sisi lain, kita juga harus memastikan mereka tidak  hanya memikirkan apa yang terjadi dan terkait bisnisnya. Mereka juga harus tahu bisnis dari departemen lain sehingga memungkinkan terjadinya kolaborasi. 

Nah, dalam rangka menjalankan peran itu, kami memanfaatkan berbagai saluran komunikasi mulai dari majalah, intranet, e-mail blast, grup WhatsApp, sampai elevator speech.

 

Apa itu?

Elevator speech adalah upaya kita memanfaatkan waktu yang sedikit untuk mengomunikasikan pesan kunci saat berada di lift. Misalnya, nih, ketika di lift bertemu CEO atau rekan sekantor. Kita harus segera tanggap untuk membangun komunikasi dari sekadar bertanya, “Mau makan siang di mana?” Sebaliknya, kita bisa membuka percakapan terkait acara kantor. Contoh, “Sudah tahu belum kalau Jumat ini jam 4 sore ada CEO Town Hall? Jangan lupa, dress code-nya batik, ya.” Percayalah, cara komunikasi seperti itu lebih powerfull.

O ya, komunikasi internal juga terkait dengan upaya membuat karyawan nyaman berkarya di perusahaan. Salah satu caranya dengan mengadakan beragam kegiatan ekstrakulikuler sehingga mereka dapat melepas penat dengan melakukan hobi yang mereka gemari. 

 

Bagaimana dengan tantangan mengelola komunikasi eksternal?

Pertama, kita harus memastikan mampu memberikan informasi yang komplit kepada para pemangku kepentingan, seperti regulator. Kedua, membangun relasi dan kolaborasi dengan klien, termasuk rekan media. Salah satunya, kami bekerja sama dengan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) untuk mengadakan program masterclass digital financial literacy. Sedangkan tantangan CSR lebih kepada upaya mengadakan dan mengomunikasikan program yang mengedepankan dampak sosial. Kami berprinsip, CSR yang baik bukan hanya programnya yang bagus, tapi juga making progress bagi para penerima manfaat. 

 

Sejak kapan memiliki passion sebagai PR? 

Pada dasarnya, saya ini pemalu. Takut ketemu orang banyak. Titik baliknya saat saya duduk di bangku kelas 5 SD. Saat itu, guru menantang dan memberikan kesempatan kepada saya untuk keluar dari zona nyaman dengan menjadi konduktor di Hari Anak Nasional disaksikan Ibu Negara saat itu, Tien Soeharto, dan lebih dari 500 orang penonton. And, I did it!

Dari situ, keberanian bertemu dengan orang mulai muncul, meski belum sepenuhnya terbangun. Ketika kuliah di Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, saya menantang diri lagi. Saya melamar di salah satu stasiun radio populer di Bandung, Ardan, yang proses seleksinya dikenal ketat dan prosesnya panjang.

Dari banyak peserta, saya lolos seleksi bersama sembilan peserta lain. Tapi, dari sepuluh orang tadi hanya tiga orang yang lolos seleksi. Salah satunya, saya. Profesi ini adalah bagian dari upaya saya mengasah kemampuan diri. Sebab, sebagai penyiar radio, saya dapat menyapa jutaan orang lewat suara, tanpa harus bertatap muka.  

Jadi, awalnya saya ingin menaklukkan rasa takut yang ada di dalam diri saya. Seiring proses dan berjalannya waktu, saya merasa nyaman melakukan komunikasi, bertatap muka, dan membina hubungan baik dengan orang lain. Hingga akhirnya terjadi pergeseran tujuan hidup bahwa ini passion saya. Dan setelah itu, fokus saya tidak pernah berubah. Saya bertekad melakukan dan menjadi yang terbaik di dunia komunikasi sebagai profesional PR.

Lulus dari Unpar, saya mendapat beasiswa English Literature di Universitas Houston, Texas, Amerika Serikat (AS). Dengan latar belakang pendidikan yang saya miliki, idealnya ketika kembali ke tanah air, saya bekerja di Kementerian/Departemen Luar Negeri atau badan internasional. Sebaliknya, saya memilih menjadi PR. Awalnya, saya menjadi PR di Hotel Mulia, Jakarta, yang kala itu sedang melakukan rebranding dari just another athlete hotel menjadi lifestyle hotel. Selanjutnya, saya menjajal dunia agensi PR dengan bergabung di Ogilvy. Di sana saya belajar banyak tentang krisis manajemen dan komunikasi di banyak bidang dan industri.

 

Selepas itu?

Saya menikah. Suami memboyong saya ke AS. Saya manfaatkan keberadaan saya di sana untuk menggali PR di tempat asalnya dengan cara mengikuti banyak seminar, workshop, hingga bergabung di komunitas PR Society of America. Saya juga terus mengasah kemampuan menulis dengan menjadi kontributor untuk media-media di Indonesia. Khususnya, artikel bertema kesehatan, gaya hidup, dan travel.

Sekembalinya ke tanah air, saya kembali bergabung di salah satu agensi PR. Tapi tidak bertahan lama karena anak saya yang saat itu berusia 2,5 tahun masih harus beradaptasi dengan lingkungan baru.

Semesta mendukung. Saya mendapat tawaran dari Unilever yang dikenal sebagai family oriented company sebagai communications manager. Setelah itu, kondisi menjadi jauh membaik. Perusahaan memiliki fasilitas daycare. Saya juga diperkenankan membawa anak ke kantor.

Lima tahun berkarya di sana, saya dinominasikan oleh perusahaan untuk mengikuti Accredited Business Communicator, sertifikasi khusus PR profesional dari organiasi nirlaba International Association of Business Communicators (IABC)  yang berkantor pusat di San Fransisco, AS. Anggotanya tersebar di lebih 60 negara. Mengikuti program tersebut seperti sedang kuliah S2. Selama enam bulan, saya digembleng mulai dari mengikuti workshop series baik secara on-line maupun tatap muka—ketika itu diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, hingga tes tertulis dan tatap muka yang diuji oleh tujuh orang ahli PR dari berbagai negara di Singapura. 

Setelah menghimpun banyak pengalaman dan ilmu di Unilever, saya ingin belajar sesuatu dan tantangan baru. Saya hijrah ke dairy company, Fonterra Brands Indonesia, sebagai Corporate Affairs Manager. Setahun kemudian, saya pindah ke perusahaan otomotif, Mercedes Benz. Setelah tiga tahun menjadi Deputy Director Corporate Communication and External Affairs Mercedes Benz-Indonesia, tahun 2015, saya mendapat tawaran di Citibank sebagai Senior Vice President and Country Head of Corporate Affairs Citi Indonesia, sampai akhirnya mendapat amanah yang sekarang.  

Yang pasti, dalam bekerja, saya mencari perusahaan yang memiliki values yang sama dengan saya, etika perusahaan yang baik dan profesional. Karena dari situ saya bisa belajar.   Seperti saat di Citibank. Ketertarikan untuk berkecimpung di industri finansial, khususnya perbankan, ini menguat ketika saya mendapat insight yang benar-benar menyentuh hati saya. Tepatnya, mengenai keprihatinan atas rendahnya literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Saya tergerak untuk berbuat sesuatu, terutama dalam hal financial education. Apalagi CSR ada di bawah tanggung jawab departemen saya. 

Ya, aktivitas sosial memang sudah menjadi passion saya selain PR. Sudah selama sepuluh tahun, saya bersama suami aktif mengelola Taman Baca Anak Lebah. Misinya, menumbuhkan kecintaan membaca kepada anak-anak.  Ada tiga program yang menjadi fokus utama kami. Pertama, mengumpulkan dan menyalurkan buku kepada anak-anak di wilayah-wilayah yang selama ini sulit mendapat akses buku cerita. Kedua, Semangati Guru. Tujuannya, memenuhi fasilitas yang dibutuhkan guna meningkatkan kualitas belajar mengajar mulai dari yang sederhana seperti pensil warna, bola voli, sampai angklung. Ketiga, Books, Storytelling and Technology (BookSTech).

Di Citibank, saya makin bahagia karena bisa berkontribusi meningkatkan literasi untuk hal yang lebih makro. Melalui CSR yang berada di bawah payung Citi Peka (Citi Peduli dan Berkarya), saya bersama tim fokus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui literasi keuangan untuk kalangan generasi muda dan perempuan. 

 

Di tengah kesibukan, upaya apa yang Anda lakukan agar dapat meluangkan waktu berkualitas bersama keluarga, khususnya anak-anak?

Teknologi. Perkembangan teknologi memungkinkan kami untuk melakukan video call. Saya juga bisa memantau aktivitas anak-anak hanya dari sini (Vera menunjuk ponselnya). Saya berprinsip, jangan memusuhi teknologi. Melakukan “puasa” teknologi di tengah perkembangan teknologi yang sedemikian masif, bagi saya, ibarat hidup tanpa listrik. Contoh, anak saya yang bungsu sudah terpapar teknologi sejak lahir.

Saya masih membacakan dongeng untuknya menggunakan buku. Tapi, adakalanya saya juga mendongeng mengunakan e-book. Menurut saya, teknologi tidak selalu memberikan dampak buruk. Saat ini ada banyak aplikasi yang diciptakan khusus sebagai wahana edukasi digital untuk anak-anak. Melalui salah satu aplikasi tersebut, anak saya, di usianya yang masih empat tahun, mampu menguasai 400 kosa kata dalam bahasa Inggris.  

Saya juga memperkenankan kedua kakaknya menggunakan media sosial. Tentu saja dengan pengawasan. Mereka juga wajib mengisi data dan usia yang sebenarnya agar mendapatkan konten sesuai umurnya. Karena seperti itulah artificial intelligence (AI) bekerja.

Oleh karena itu, orangtua sebaiknya tidak gaptek (gagap teknologi). Soal informasi dan perkembangan teknologi terbaru, kita harus lebih tahu dan pintar daripada anak-anak. Semuanya bisa kita pelajari. Saya juga masih terus belajar. Hal ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya kita menjaga mereka. Mulai dari hal sederhana seperti mengatur pencahayaan layar sampai memaksimalkan layanan proteksi (parental guide) guna mengindari anak-anak dari konten yang tidak sesuai usia mereka.

Meski begitu, kita juga tidak bisa sepenuhnya mengandalkan teknologi. Ada saatnya kita harus hadir di momen-momen khusus mereka seperti pengambilan rapor atau saat mereka perform. Di sinilah kemampuan kita mengelola waktu diuji. Hal itu juga yang saya tekankan kepada tim. Bagi saya, family comes first. Ketika kita bekerja sampai mengabaikan keluarga, sama artinya kita telah melupakan tujuan awal kita bekerja untuk mereka.

 

Tahun 2018, Anda ditunjuk sebagai Presiden International Association of Business Communicators (IABC) Indonesia Chapter. Apa goals Anda?

Di era globalisasi ini, saya ingin semakin banyak praktisi PR di Indonesia yang kompetensinya bisa disejajarkan dengan kompetensi PR dari negara lain. Dengan memiliki sertifikasi ABC, kesempatan mereka untuk bersaing dan berkarya di negara lain makin terbuka. Lebih dari itu, mereka dapat melakukan pekerjaan PR secara strategis bagi pemimpin dan perusahaan tempat mereka bekerja. (rtn)

 

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI