Digital adalah eksositem. Semua yang ada di dalamnya saling terkait. Untuk itu pahami ekosistemnya agar sebaran pesan yang ingin disampaikan maksimal.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Managing Director Verve & Chameleon-Wunderman Thomspon Harry Deje memberi gambaran sederhana jika kita mampu mengelola ekosistem digital dengan baik. “Jika cara kita mengelola media sosial itu baik, nama kita ketika di-search akan bagus. Kalau kita pintar memainkan kata kunci, owned asset kita makin baik,” katanya kepada PR INDONESIA di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Pria yang sejak setahun lalu bergabung di agensi PR yang memiliki spesialisasi di bidang storycrafter ini melanjutkan, kalau kita mampu membangun komunikasi yang baik dengan key opinion leader (KOL), maka percakapan yang muncul di media digital ikut meningkat. Jika sampai menginspirasi dan relevan, bisa jadi viral. Contoh, dicuplik oleh blogger, vlogger, media on-line, bahkan hingga muncul di percakapan grup chat seperti WhatsApp. “Jadi, digital PR bukan sekadar mengelola satu platform seperti media sosial,” ujar pria yang karib disapa Deje itu.
Digital hanyalah tools. Tugas utama PR tetaplah membuat, mengemas, dan mengkreasikan konten. Lalu, mendistribusikannya ke berbagai kanal komunikasi yang ingin dituju. “Maka, kalau kita mau menyalurkan konten ke digital, kita mesti kenal dengan ekosistemnya. Pahami fungsi dan karakteristik tiap platform digital. Karena platformnya banyak, kita juga harus memiliki beragam kemasan konten. Kami menyebutnya story spheres,” imbuhnya.
Selain itu, kata Deje, PR jangan memandang digital sebagai sesuatu yang ribet. Menurutnya, PR tak perlu menjadi digital savvy untuk bisa mengelola pesan dan informasi yang ada di dalam ekosistem digital. “Kita hanya perlu memahami peran setiap kanal digital, menerima data, kemampuan menganalisis, lalu membuatnya menjadi cerita yang relevan,” katanya. Saat ini, riset dari big data bisa kita peroleh dengan mudah. Tidak butuh SDM tambahan, ada pihak ketiga selaku penyedia jasa. Tak perlu infrastuktur mahal, ada banyak aplikasi yang menyediakan data seperti Alexa. Bahkan, setiap platform media sosial dan mesin pencari seperti Google pun menyediakan data analitik. Tak perlu investasi besar, cukup berlangganan dengan harga yang terjangkau.
Manfaat
Sudah banyak studi kasus yang menunjukkan pencapaian positif dari brand/korporasi yang memanfaatkan kanal digital sebagai bagian dari strategi komunikasi. Baik dari segi efisiensi, efektivitas, penerimaan, pencapaian target, bahkan keberlangsungan bisnis.
Lewat digital, PR bisa mengkultivasi big data. Semuanya tercatat. Kondisi ini memungkinkan praktisi PR untuk membuat aktivitas dan cerita baru sesuai preferensi/kebutuhan audiens yang disasar. “Kanal digital membantu semua informasi tersalurkan lebih cepat. Termasuk, peluang viral yang akhirnya membentuk opini dan persepsi,” katanya.
Lewat digital pula, PR bisa memonitor potensi isu, hingga meredam krisis. “Di era digital, potensi isu menjadi krisis bisa berubah sedemikian cepat. Jika PR tidak paham dengan ekosistem dan cara menangani krisis di dunia digital, penanganannya bisa semakin lama,” ujarnya seraya berpesan krisis di digital itu melibatkan data. Untuk itu, PR harus rajin memonitor data, memetakan sentimennya, sampai melakukan simulasi agar kelak tidak salah melangkah.
Menurut Deje, yang menghambat upaya memaksimalkan peran digital sebagai bagian dari strategi komunikasi, justru terletak pada individu masing-masing. Mereka terjebak di zona nyaman. Kedua, minim dukungan dari pimpinan/manajemen. “Terjun ke digital jangan nanggung, sekadar coba-coba. Jangan harap hasil yang instan. Perubahan itu butuh proses. Tapi, tidak boleh ditunda terlalu lama. Karena semakin lama berubah, semakin kita tertinggal jauh. Harus all out!” ujarnya. (rtn)