Ketika PR dihadapkan pada era digital, yang perlu dibangun tidak hanya platform, hardware, atau infrastruktur teknologi. Lebih dari itu, mentalitas praktisi humas pun harus dipersiapkan secara matang.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sayangnya, kata Adita Irawati, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, pemahaman public relations (PR) akan dunia digital cenderung masih sebatas pemanfaatan media sosial. Menurutnya, optimalisasi media sosial sebagai medium untuk berkampanye, branding, maupun sosialisasi sudah menjadi keharusan—bukan hal baru apalagi istimewa. “Saya perhatikan, di Indonesia PR-nya masih 3.0, belum benar-benar 4.0. Maksudnya, mereka memiliki akun media sosial, tapi belum memanfaatkannya secara maksimal,” ujarnya saat ditemui PR INDONESIA di acara Siberkreasi Nitizen Fair 2019 di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Padahal ada aktivitas tak kalah penting saat PR terjun di dunia digital. PR harus membangun interaksi yang kuat dengan audiensnya di media sosial. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, interaksi sangat diperlukan untuk memastikan konten yang disajikan benar-benar efektif dan relevan bagi audiens yang disasar. “Karena komunikasi yang baik adalah saat audiens memberikan perhatiannya dalam bentuk respons,” simpul mantan VP Corporate Communications Telkomsel.
Tak berhenti sampai di situ, serangkaian kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi baru seperti internet of things (IoT), big data, cloud computing, machine learning, hingga kecerdasan buatan sejatinya dapat diutilisasi guna memudahkan kerja PR. Terutama, untuk mengidentifikasi stakeholders yang memiliki ketertarikan dengan brand/perusahaan/institusi, menangkap perilaku audiens, melihat sentimen warganet terhadap institusi, hingga meningkatkan brand reputation.
Jejak Digital
Menurut Adita, fenomena ini perlu disikapi dengan cerdas dan cermat oleh setiap praktisi kehumasan. Dengan begitu, praktisi PR diharapkan bisa lebih peka dan sensitif terhadap isu atau konten yang akan disebarluaskan. Jika sekali saja PR melakukan kesalahan, jejak digitalnya akan terekam sepanjang masa. Untuk itu, kita harus mampu mengantisipasi, memahami cara kerja algoritma sehingga bisa memitigasi risiko sedini mungkin.
Seperti yang dirasakan Adita beserta tim saat meramu narasi positif bagi orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo. Presiden dan lembaga kepresidenan merupakan pucuk kepemimpinan tertinggi di negara ini. Perlu kehati-hatian ekstra dalam menyikapi berbagai macam isu dan krisis. Terutama, yang terjadi di media sosial.
Penting bagi Adita untuk melakukan koordinasi secara intensif dan luas dengan seluruh kementerian dan lembaga agar dapat memastikan duduk permasalahan yang sebenarnya. Karena setiap informasi yang keluar atas nama pemerintah sangat diperhitungkan kredibilitasnya.
Untuk itu, perempuan penggemar olahraga lari ini menekankan pentingnya praktisi PR terjun dan terlibat langsung untuk mengasah kepekaan personal. “Paling tidak ia memahami karakteristik dari masing-masing platform,” katanya.
Pada akhirnya, menurut Adita, dalam mengelola komunikasi di dunia digital, praktisi PR tak cukup sekadar memiliki keahlian, pengetahuan, dan pengalaman. Yang bersangkutan harus mampu mengelola kepekaan pemikiran, perasaan, dan hati. (ais)