Dalam era transformasi geopolitikal seperti sekarang, Indonesia memiliki potensi trategis di kancah internasional. Peran penerjemah pemerintah sebagai bagian dari proses pertukaran informasi yang cepat dari beragam bahasa dan budaya pun dirasakan semakin vital.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Banyak yang belum mengenal penerjemah pemerintah. Kondisi ini mendorong penyelenggara Indonesia Science Expo 2019 untuk memberikan panggung dengan mengadakan gelar wicara bertajuk “Bincang Seru Pengalaman Komunikasi Penerjemah Pemerintah” di Jakarta, Sabtu (26/10/2019).
Penerjemah pemerintah merupakan asosiasi profesi yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saat ini penerjemah pemerintah terdiri dari 180 orang yang tersebar di 25 provinsi dan ada di 54 instansi pusat serta daerah. Sama halnya dengan pranata humas yang memiliki IPRAHUMAS, penerjemah pemerintah juga memiliki organisasi bernama Ikatan Penerjemah Pemerintah Indonesia (IPPI).
Organisasi ini dipayungi oleh kode etik yang wajib dipatuhi oleh setiap penerjemah. Salah satunya, tidak boleh menerjemahkan unsur-unsur yang dapat membahayakan negara dan paham-paham asing yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Di acara yang menggandeng PR INDONESIA sebagai media partner itu, penerjemah Direktorat Jenderal Imigrasi Yanos Okterano mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal menerjemah, IPPI memberikan legalisasi melalui Balai Bahasa Daerah. Hal itu dilakukan karena banyak dari instasi pemerintah di daerah maupun swasta yang kesulitan dalam menerjemahkan baik peraturan daerah maupun peraturan lainnya. “Dengan hadirnya IPPI, kami bisa memfasilitasi dan memberikan legalisasi bahwa naskah itu sudah diterjemahkan. Tentu, hasil terjemahannya harus berdasarkan kode etik,” ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum IPPI teresebut.
Tingkatkan Pemahaman
Pria yang fasih berbahasa Mandarin ini melanjutkan, guna mendukung dan memaksimalkan peran penerjemah dalam tugas kenegaraan, mereka mendapatkan pembekalan bimbingan teknis (bimtek) dari Sekretariat Kabinet (Setkab). “Setkab sering menyelenggarakan bimtek terutama terkait penerjemahan hukum dan lisan. Yang terbaru, penerjemahan karya sastra,” katanya.
Berbeda dengan penerjemah tertulis, penerjemah lisan bersifat langsung dan fokus pada makna pilihan kata. Tak hanya itu, penerjemah lisan juga harus melek budaya dan memiliki pengetahuan umum yang luas. Tidak kalah penting, harus netral dengan tidak menambah atau mengurangi makna dengan interpretasi sendiri. “Sebagai penerjemah lisan atau juru bahasa, mereka dituntut memahami isi konteks dari narasumber terutama dalam bahasa Inggris,” ungkapnya.
Yanos meyakini penerjemah pemerintah memang memiliki kekhususan dalam istilah-istilah khusus yang hanya digunakan oleh penerjemah kenegaraan. Seperti halnya kekayaan intelektual yang jika diterjemahkan akan sulit dipahami oleh pihak asing.
Sebagai penerjemah pemerintah, mereka pun dituntut untuk mampu menyampaikan secara tepat dan jelas kepada pihak asing. “Dalam menerjemahkan itu memang ada teknik khusus supaya kita tidak terlihat kurang menguasai,” katanya. “Banyak istilah khusus seperti pengalaman saya ketika awal menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke dalam Mandarin dengan istilah-istilah kekayaan intelektual. Tadinya tidak mudah. Karena sudah sering, sekarang sudah terbiasa,” imbuh Yanos. (mai)