Berita tentang kelapa sawit kerap menghiasi halaman depan media tanpa henti. Bermacam-macam segi dikupas, mulai dari data produksi yang tidak akurat, penyerobotan lahan, deforestasi, dan sebagainya.
Oleh Noke Kiroyan, Chairman and Chief Consultant Kiroyan Partners
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Terkait perdagangan internasional, isu yang menyita perhatian adalah konflik dengan Uni Eropa. Puncak konflik terjadi saat Renewable Energy Directive (RED) II (Peraturan tentang Energi Terbarukan yang direvisi) disahkan pada 13 Maret 2019. Peraturan ini akan berdampak negatif terhadap ekspor kelapa sawit Indonesia ke Eropa, sebab minyak sawit digolongkan sebagai produk yang tidak memenuhi azas keberlanjutan. Mulai tahun 2030, minyak sawit tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati.
Uni Eropa menjalankan kebijakan tentang bahan bakar nabati sebagai komitmen mereka dalam melawan perubahan iklim seperti tertuang dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) tanggal 12 Desember 2015.
Sepintas posisi Indonesia dan Uni Eropa sulit dipertemukan, sebab konflik berada pada dua tataran berbeda. Kepentingan ekonomi Indonesia terhadap kelapa sawit sangat besar. Di pihak Uni Eropa, komitmen yang mereka jalani bertujuan jangka panjang untuk mitigasi perubahan iklim. Selain itu langkah-langkah mereka telah melalui proses legislasi yang rumit dan disepakati oleh seluruh negara anggota. Ganjalan di kedua pihak ini telah menyebabkan negosiasi Perjanjian Kerja sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa terhenti hingga saat ini.
Kita bisa menganalogikan Uni Eropa sebagai kompleks yang terdiri dari 28 gedung. Kompleks itu dikelilingi tembok tebal serta tinggi. Sebaliknya, Indonesia berada di luar kompleks. Betapa pun marahnya kita, bisa jadi tidak terdeteksi dan terhalang tembok tinggi. Lawatan sesekali atau upaya menerobos ke dalam melalui kunjungan tingkat tinggi sekalipun akan kurang efektif. Perlu ada upaya konsisten untuk memengaruhi kebijakan.
Analisa Pemangku Kepentingan
Jalan yang perlu kita tempuh adalah bagaimana kita bisa melompati tembok. Melakukan upaya-upaya melobi secara terencana dan sistematis dari dalam. Uni Eropa adalah konstruksi yang rumit dan sulit dipahami oleh orang awam di Eropa sekalipun, sehingga diperlukan konsultan public affairs yang berbasis di Uni Eropa dan paham tentang lekuk liku di Brussel, Ibu Kota Uni Eropa. Melalui stakeholders analysis, kita memetakan pihak-pihak yang menjadi pemangku kepentingan serta apa yang mendasari sikapnya. Dengan demikian, dapat diketahui siapa yang menjadi penghambat bagi komoditas kelapa sawit kita atau di pihak lain bisa menjadi sekutu dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia.
Selain itu, melakukan lobi (lobbying) menjadi kegiatan yang disambut baik oleh Uni Eropa sebagai instrumen memperoleh masukan dari berbagai pihak. Semua kegiatan ada di dalam Transparency Register (Daftar Transparansi) yang mencatat lengkap lokasi perusahaan, organisasi/lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu, menemui pejabat siapa, dan untuk urusan apa. Daftar ini dapat diakses oleh siapa pun di situs Uni Eropa.
Ada anggapan bahwa Uni Eropa adalah satu blok monolitik yang bertujuan menghalangi produksi kelapa sawit. Mereka dianggap sebagai saingan bahan bakar nabati yang dikembangkan di Eropa sendiri, khususnya di bagian timur, yaitu tanaman yang dinamakan rapeseed. Faktanya, produsen terbesar di dunia komoditas ini adalah Cina, bukan Uni Eropa. Jadi, sejauh mana penyebab ini menjadi pertimbangan utama masih perlu dikaji kembali. Kita akan mengetahuinya melalui stakeholders analysis dan sesudah itu advokasi melalui kelompok-kelompok yang bisa dijadikan sekutu. Di sinilah industri kelapa sawit (bukan perusahaan secara individual) memainkan peranan penting.
Selain upaya pemerintah di tingkat government to government (G2G) melalui diplomasi multilateral, termasuk membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), industri kelapa sawit perlu mengambil langkahlangkah untuk mempertahankan pangsapasarnya di benua dengan daya beli tinggi ini melalui pendekatan public affairs. Kita masih punya waktu sampai tahun 2030 untuk membawa perubahan sikap di Uni Eropa.