Di saat semua serba on-line, rumus baru pun berlaku. Good news travel fast, bad news travel faster. Ibarat peribahasa latin, si vis pacem, para bellum, yang artinya siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Kondisi ini juga berlaku untuk public relations (PR).
BALI, PRINDONESIA.CO – Persiapan perang seperti apa yang dimaksud? “Persiapan menghadapi krisis,” kata Firsan Nova, Managing Director Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, saat menjadi pembicara di kelas Corporate PR di acara Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #5 di Bali, Rabu (30/10/2019).
Langkah pertama, kenali elemen krisis. Elemennya di mulai dari syok, menyangkal, marah, tawar-menawar/berharap, depresi, sampai menerima. Contoh, soal menerima kekalahan. “Kok, bisa kalah?” (syok), “Mustahil bisa kalah.” (menyangkal), “Masak kalah beneran?” (marah), “Mungkin ini hanya strategi pura-pura kalah.” (tawar-menawar/berharap), “Tapi, kok, beneran kalah, yah?” (depresi), “Ya, memang sudah nasib kita kalah. Kita harus tetap berpikir positif.” (menerima).
Identifikasi situasi-situasi yang berpotensi menjadi krisis. Misalnya, isu kesehatan, keselamatan dan keamanan, keuangan, lingkungan, bencana, praktik dan etika bisnis, hukum, kesalahan pekerja, keluhan pelanggan, ketersediaan barang, sampai iklan yang diproduksi perusahaan yang ternyata mengandung konten yang menyesatkan atau salah. Setelah itu, identifikasi stakeholders yang berpotensi menjadi sumber krisis baik di kalangan internal maupun eksternal.
Menurut Firsan, ada dua upaya yang harus dilakukan PR berkaitan dengan krisis. Pertama, upaya kuratif. Kedua, preventif. Upaya preventif seperti menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perusahaan, membina hubungan yang baik dengan aparat pemerintah, membangun benteng pertahanan dari lini terbawah mata rantai pemasaran, dan menyiapkan program manajemen krisis. Sementara upaya kuratif meliputi mengidentifikasi, mengisolasi dan menangani krisis.
Krisis itu memengaruhi tiga hal. Antara lain, image, reputasi dan stabilitas finansial. Nah, tugas PR adalah mengisolasi krisis baik dari sisi dampak sampai isu agar tidak semakin bertambah. “Saat krisis, kita tidak melihat pada skala, tapi dampak,” kata pria yang kerap didapuk sebagai pembicara tentang krisis PR dan manajemen isu itu, tegas. Seberapa besar dampak dari krisis itu bisa menciderai perusahaan. “Semakin serius potensinya, maka semakin besar krisis yang bakal kita hadapi,” imbuhnya.
Buat Panduan
Apa yang harus dilakukan PR? Pertama, lakukan pendalaman data dan fakta. “Buat opinion leader map analysis, lakukan analisis media, tangani isu sesuai dengan karakter bisnis,” katanya. Lalu, siapkan paket informasi, batasan isu dan dampaknya, posisikan citra perusahaan, tim crisis center, dan tunjuk unofficial spokes person.
Tipsnya, kata Firsan, jujur, ulangi pesan sesering mungkin, tahu dan pilih medium komunikasi yang tepat sesuai dengan audiens yang ingin disasar, berpikirlah untuk jangka panjang, terbuka menerima umpan balik baik berupa saran maupun kritikan.
Untuk itu, kecerdasan emosional menjadi salah satu kompetensi yang mesti dimiliki PR zaman sekarang. Di samping, kemampuan berkomunikasi dengan jelas, percaya diri, memiliki rasa empati, kemauan mendengar, berpikir terbuka, dan banyak lagi. “Kemampuan merespons segala sesuatu dengan tenang itu penting. Dihina tidak perlu marah, dipuji jangan sampai membuat kita melayang-layang,” katanya.
Tak lupa, Firsan memberikan panduan komunikasi krisis yang efektif. Terdiri dari identifikasi kecepatan suatu krisis, cepat merespons, dukung dengan data, bentuk tim krisis, pastikan PR mendapat akses langsung dan kepercayaan dari CEO. “Yang terakhir ini penting karena akan sangat memengaruhi proses pengambilan keputusan saat krisis,” pungkas pria yang kerap berbagi opini di rubrik Column Majalah PR INDONESIA. (rtn)