Setuju dengan pendapat Marianne Admardatine, CEO Wunderman Thompson? Ada alasan yang melatarbelakanginya. Berikut ini penjelasannya.
BALI, PRINDONESIA.CO – Di era disrupsi, banyak hal baru yang harus dihadapi. “Hal yang dulu tidak ada dan tidak pernah diajarkan, harus langsung dihadapi, bahkan dituntut untuk segera dicari solusinya,” kata Marianne saat membuka kelas Government Public Relations (GPR) di acara Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #5 di Bali, Rabu (30/10/2019).
Kondisi itu juga menuntut praktisi komunikasi memiliki keahlian psikologi. “Kita perlu mempelajari human behavior,” ujarnya. Sebab, peran PR di perusahaan maupun organisasi saat ini bukan lagi sebagai thinking machine, melainkan feeling machine yang memahami data-data dengan menggunakan emosi.
Menurutnya, data bukan hanya sekadar angka. Data adalah ungkapan dari manusia-manusia di baliknya. Data bisa menjadi alat untuk mengembangkan empati bagi para PR. “Dari data yang kita miliki, PR dapat merumuskan cerita atau story dan menciptakan suatu kampanye,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, kita saat ini hidup di dalam era relevansi di mana audiens, khususnya milenial, hanya akan menaruh perhatian pada informasi yang dianggap relevan untuk kehidupan mereka. Nah, kampanye yang bersumber dari data akan membangun relevansi yang lebih tinggi. Kampanye yang dibuat pun bisa makin beragam. “Tidak hanya storytelling, bisa juga dilengkapi dengan social movement yang tentunya akan semakin mendekatkan brand perusahaan kepada audiensnya,” ujar perempuan lulusan University of Canberra, Australia ini.
Hal serupa juga berlaku bagi GPR. Humas pemerintah biasanya turut berpartisipasi dalam membuat dan mengomunikasikan kebijakan. Agar kebijakan yang dirumuskan dapat memengaruhi human behavior dan tepat sasaran, GPR perlu menaruh perhatian lebih terhadap aspek relevansi. “Selain menggunakan data, coba jajaki pendapat beragam kelompok yang terdampak kebijakan. Sehingga, publik bisa merasakan kebijkan tersebut relevan dan layak untuk didengar,” katanya.
Selain itu, manfaatkan media sosial secara optimal. Marianne berpendapat, selain mempermudah jajak pendapat, media sosial juga memudahkan institusi mengangkat storytelling yang menyentuh. Apalagi jika dilengkapi dengan audio visual. (den)