Sosok yang hampir 30 tahun berkiprah di dunia PR ini juga menyampaikan bahwa ada beberapa mitos yang perlu didobrak oleh PR di era digital ini. Apa saja?
BALI, PRINDONESIA.CO – Founder International Public Relations Summit (IPRS) Elizabeth Goenawan Ananto mengupasnya secara tuntas di sesi konferensi Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #5 di Bali, Rabu (29/10/2019). Pertama, bahwa kegiatan PR saat ini terfokus pada digital. “Ini tidak sepenuhnya benar,” kata Ega, sapaan karib Elizabeth, tegas. Faktanya, tidak semua isu PR dapat ditangani dengan solusi digital. “Digital is a must, tapi jangan hanya berfokus pada digital, melainkan PR sebagai strategic management function,” imbuhnya.
Strategi digital berperan efektif apabila ditujukan untuk publik. Sementara dalam sejumlah kasus seperti lobi, diplomasi, keputusan, dan kerjasama tingkat tinggi, pertemuan tatap muka tetap penting dan diperlukan.
Kedua, bahwa di era digital ini peran PR semakin menurun. Menurut Ega, pernyataan ini lagi-lagi salah. Alasannya, karena PR adalah kompetensi inti. PR-lah yang menentukan arah dan strategi untuk memanfaatkan teknologi digital. “Jangan sampai sebaliknya,” ujar founder EGA briefings ini.
Terakhir, content creator perannya terus meningkat. Untuk pernyataan ini, Ega mengakui. “Ada benarnya, tapi jangan sampai kita memisahkan content creation ini dari keseluruhan kerja PR,” ujarnya berpesan. Justru, content creation harus menjadi salah satu kemampuan yang wajib dimiliki oleh setiap praktisi PR.
Untuk mendobrak sejumlah mitos ini, PR perlu memiliki pengetahuan dan kemampuan teknologi komunikasi. Menurut Ega, teknologi komunikasi dapat menjadi alat agar PR tidak sekadar berkomunikasi. Tapi, sekaligus memanfaatkan teknologi untuk melakukan riset dan pengukuran kampanye PR yang bersifat personal bagi para stakeholders.
Literasi Digital
Tantangan bagi PR untuk melakukan semua hal yang disebutkan di atas adalah perubahan-perubahan fundamental. Salah satunya, posisi konten digital yang saat ini menjadi sangat penting. “Key performance index PR saat ini telah bergeser. Tidak lagi mengejar news, tetapi brand,” ujar Ega.
Brand menjadi karakter dari perusahaan yang tidak bisa hanya didefinisikan dengan kata-kata. Namun, dengan aksi nyata. Literasi digital menjadi salah satu tindakan nyata yang dapat diwujudkan oleh PR dalam membangun brand perusahaan maupun brand pribadinya.
Bagaimana caranya? Pertama, berhati-hati saat menulis atau mengatakan sesuatu di dunia maya, karena semua yang pernah kita unggah akan menjadi jejak digital. Kedua, bangun kepercayaan dengan mengajarkan sesuatu yang benar-benar kita kuasai. Ketiga, sampaikan yang benar-benar dilakukan oleh perusahaan untuk membangun kepercayaan pada perusahaan. Terakhir, katakan kebenaran dengan transparan untuk memenangkan kepercayaan publik. (den)