Sudah saatya praktisi public relations (PR) berkolaborasi membangun komunikasi yang harmonis dan kontribusi nyata untuk meminimalisasi potensi krisis sosial.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti yang lain, Marsha pun mengidamkan adanya kolaborasi antarpraktisi PR untuk bersama-sama berkontribusi. Agar kolaborasi bisa berjalan efektif, langkah pertama adalah harus adanya kepemimpinan. Selanjutnya, tiap insan PR mau melepaskan egosektoral. Mulailah dari data, petakan akar masalahnya, buat daftar apa yang harus dilakukan. Lalu, buat road map mengenai tema yang harus dikomunikasikan, susun strateginya. “Jangan mulai dari taktik dan jangan berhenti di gimmick,” pesannya.
Sementara bagi President Director IPM PR Maria Wongsonagoro secara tertulis kepada PR INDONESIA, Rabu (18/9/2019), yang diperlukan untuk meminimalisasi isu disharmonisasi adalah Tim Komunikasi Nasional. Atau, biasa kita disebut sebagai Badan Komunikasi Strategi Nasional.
Lembaga inilah yang nantinya akan menjalankan sistem dan prosedur manajemen isu. Mulai dari meletakkan suatu early warning system atau sistem peringatan dini yang mencakup seluruh pelosok tanah air, menganalisis isu disharmonisasi yang tengah berkembang, memetakan stakeholders terkait, memahami persepsi masing-masing kelompok. Hingga, menghasilkan sebuah strategi komunikasi berskala nasional. “Keberadaannya sebagai penggerak seluruh elemen negara. Ibarat sebuah orkestra, harus ada dirigennya,” katanya.
Tim ini alangkah baiknya jika diisi oleh para ahli dari berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik—dan diperkuat dengan keberadaan tim inti yang terdiri dari para praktisi komunikasi senior sebagai communications lead. Dia bertanggung jawab mengurai potensi munculnya ego sektoral antarinstansi pemerintah.
Harmoni sosial ini, sambung Maria, harus terkandung dalam program komunikasi perusahaan/organisasi. Tujuannya, untuk menciptakan hubungan serasi antara perusahaan dengan stakeholders. Literasi serupa tentang harmoni sosial juga harus dilakukan kepada masyarakat. (rtn)