Sudah saatnya praktisi public relations (PR) berkolaborasi membangun komunikasi yang harmonis dan kontribusi nyata untuk meminimalisasi potensi krisis sosial.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kasus dugaan rasialisme yang dilakukan oleh kelompok massa dari aliansi ormas terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, pertengahan Ag ustus lalu, berbuntut panjang. Aksi unjuk rasa antirasisme yang dilakukan warga Papua di Jakarta, berlanjut hingga ke Jayapura, Papua.
Unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai ini berujung mencekam dengan maraknya aksi anarkis seperti pembakaran dan penjarahan. Hingga akhirnya, isu referendum Papua—bara dalam sekam antara hubungan masyarakat Papua dengan pemerintah pusat—kembali menyala.
Itu baru Papua. Sebenarnya, sebagai negara yang dianugerahi oleh beragam suku budaya, agama, ras, dan golongan, ada banyak isu di negeri ini yang dapat berpotensi memicu konflik atau disharmonisasi. Potensi itu bisa diredam, salah satunya melalui komunikasi yang harmonis.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, pemerintah harus terus mengomunikasikan pentingnya kesatuan dan persatuan, merangkul elit politik untuk menularkan semangat yang sama kepada ranting-ranting di bawahnya, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, hingga media. Disinilah ia melihat pentingnya peran PR. Karena mereka memiliki fungsi sebagai massage the message yang bisa membuat orang lain yakin terhadap suatu persoalan, Ia meyakini masyarakat dapat hidup berdampingan secara harmonis. Sebab,pada dasarnya negeri ini dihuni oleh masyarakat yang memiliki modal sosial kuat. “Masyarakat kita ini jarang yang ekstrimis. Mereka cenderung in themiddle—masih memiliki tolaransi. Lihatlah Jakarta, etalase toleransi. Padahal kota ini melting point suku, ras, agama, golongan,” ujarnya kepada PR INDONESIA di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Adapun cara yang cocok diterapkan di negeri ini untuk mewujudkan komunikasi yang harmonis, menurut pendapat Firman, adalah pendekatan kombinasi antara struktural dan kultural. “Saya masih percaya dengan kecerdasan masyarakat dan modal sosial yang kita miliki,” katanya.
360 Derajat
Sementara menurut Ketua BPP Perhimpunan Humas Indonesia (PERHUMAS) Agung Laksamana, untuk menghadapi resolusi konflik seperti ini dibutuhkan dialog dan komunikasi secara terus menerus. Serta, kemampuan mengidentifikasi isu secara 360 derajat.
Sudah sepatutnya, kata Director Corporate Affairs APRIL Group itu, PR turut ambil bagian. Salah satunya, dengan terus menggiatkan berbagai kegiatan positif yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya bicara baik di media sosial. Terdengar sepele, tapi dampaknya luar biasa. Karena di era post-truth, masyarakat cenderung lebih memercayai opini ketimbang fakta. “Praktisi PR ada baiknya tidak hanya sekadar mengelola informasi, melainkan ikut membangun narasi positif,” ujar kepada PR INDONESIA, Rabu (18/9/2019). seraya mengajak. Seperti halnya PERHUMAS yang berkomitmen mengedukasi masyarakat terbiasa berinteraksi secara positif di media sosial melalui kampanye #IndonesiaBicaraBaik.
Marsha Imaniara, Manager Consultant Maverick, berpendapat penanganan krisis yang efektif, termasuk soal disharmonisasi, harus dual track. Yakni, antara komunikasi dengan operasional berjalan beriringan. “Keduanya tidak bisa berdiri sendiri,” ujar perempuan yang ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Jumat (20/9/2019). “Tidak mungkin kita mengklaim isunya sudah tertangani dengan baik kalau operasionalnya tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya, operasionalnya sudah maju, tapi publik tidak tahu adanya perubahan. Keduanya harus dikelola dalam satu paket,” lanjutnya.
Apalagi saat ini terjadi pergeseran komunikasi. Pertama, komuniksi simbol tidak lagi efektif. Kedua, pergeseran komunikasi satu arah versus partisipatif. “Kita harus membuka saluran komunikasi yang memungkinkan masyarakat memberikan input. Input dari publik selanjutnya kita olah dengan efektif sehingga mereka bisa melihat upaya perusahaan membuka akses komunikasi dan komitmen memperbaiki operasional berjalan berdampingan,” katanya.
Adapun upaya untuk meminimalisasi terjadinya isu/krisis sosial bisa dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh instansi/korporasi meski tak sama persis. Mulai dari pemetaan risiko atau risk mapping. Buka pintu dialog dan berikan program pemberdayaan. (rtn) BERSAMBUNG.