Tentulah banyak sekali. Yang pasti, maaf dan meminta maaf adalah sebuah perbuatan mulia. Sebuah sikap empatik untuk mengakui kesalahan dan karenanya meminta maaf atas kesalahan itu.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam praksis jurnalistik, meminta maaf adalah lazim ketika terjadi kesalahan pemberitaan. Bahkan, kerap diikuti dengan pemuatan Hak Jawab, manakala sang narasumber menuntut hak jawab terhadap kesalahan pemberitaan dimaksud.
Di situlah maaf dan meminta maaf memiliki kemuliaannya. Menjadi pendingin sebuah perseteruan. Membuat konflik dapat mereda. Memantik harmoni baru secara sosial dan komunal.
Bahkan dalam khazanah public relations (PR), maaf menjadi mukadimah dari penyelesaian sebuah krisis. Tidak mungkin krisis akan cepat mereda tanpa ada permintaan maaf atas kesalahan/ketidaknyamanan (meminjam istilah dunia jasa) yang terjadi. Semua berawal dari permintaan maaf.
Namun bagi kalangan generasi milenial dan gen Z, kadangkala maaf menjadi semacam hal yang “sambil lalu”. Ia –meminta maaf—begitu mudah terucap, namun seringkali tidak diikuti upaya memperbaiki diri. Jadilah permintaan maaf kerap dilakukan pada kesalahan-kesalahan yang sama secara berulang dan frekuentatif. Ada sikap menganggap enteng kata dan permohonan maaf.
Sungguh jauh berbeda dengan sikap mental generasi-generasi di atasnya, yang begitu berhati-hati meminta maaf, menyampaikannya dengan penuh kesantunan, dan melihat situasi kondisi saat meminta maaf. Tidak sembarangan kata maaf diucapkan di setiap tempat dan suasana. Ada kearifan melihat momentumnya.
Kata banyak orang, beda zaman beda generasi, beda pula sikap yang ditunjukkan. Tak terkecuali dalam soal meminta maaf ini.
Rekonsiliasi
Begitulah, maaf menjadi multidimensi, punya ragam cara dan mungkin aneka makna. Yang jelas, apapun dimensinya maaf –sekali lagi—adalah indikasi sikap mulia. Semakin teramat mulia manakala kesediaan untuk meminta maaf atas sebuah kesalahan sulit dilakukan. Di titik ini, maaf adalah sebuah pandangan rekonsiliasi. Mungkin dipicu oleh sebuah konflik keluarga berkepanjangan, sehingga sulit mengucapkan minta maaf. Tapi jika itu terwujud, jelas, meminta maaf adalah mentalitas tertinggi yang patut diapresiasi. Menggerogoti ego yang semula mengerak dalam dinding-dinding hati.
Jika begitu, benarlah pendapat yang mengatakan meminta maaf harus lekas-lekas. Tidak boleh terlambat, apalagi hanya setahun sekali. Sebaliknya justru saat menyadari sebuah kesalahan terjadi, selekas mungkin pinta maaf terucap. Terkomunikasikan dengan baik, dengan memerhatikan kepantasan, momentum, tata kalimat yang tepat, dan medium yang relevan.
Bagaimanapun, mengucap maaf bagaikan melepas energi negatif yang menggumpal dan mengundang kehadiran energi positif yang lebih produktif dan konstruktif. Pada ujungnya, memperlicin jalan menuju harmoni dan rekonsiliasi yang hendak diwujudkan.
Karenanya, tak perlu segan dan malu meminta maaf saat bersalah, tapi cobalah lakukan dengan penuh makna dan jiwa yang tulus. (Asmono Wikan)