Pakar branding Hermawan Kartajaya mengemukakan pentingnya memahami 4C sebelum melakukan city branding. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Empat C yang dimaksud meliputi competitor, customer, chance, dan city. Menurut Hermawan, banyak kota/kabupaten yang bernafsu melakukan city branding, “Tapi, mereka keliru dalam mengartikan city branding itu sebagai slogan dan logo,” kata Chairman Markplus, Inc. itu saat ditemui PR INDONESIA usai menjadi pembicara di London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, beberapa waktu lalu.
Maka, perlu 4C sebagai landasan kota/ kabupaten saat melakukan branding terhadap daerah. Pertama, siapa competitor (pesaing) dari kota/kabupaten yang bersangkutan. Kedua, customer (pelanggan) dari kota tersebut baik dari luar maupun dalam kota. Ketiga, chance (peluang) apa yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Misal, lima tahun ke depan. Terakhir, city yang melingkupi ketiga C tadi.
Bukan perkara mudah menentukan branding terhadap kota/kabupaten. Alasannya, karena setiap kota/ kabupaten milik seluruh warga yang tinggal di dalamnya. Berbeda halnya dengan korporat atau product branding yang hanya milik sebuah perusahaan. Tak jarang branding yang telah dipilih menimbulkan perdebatan di masyarakat karena dianggap tidak cocok bagi daerah yang bersangkutan. Kondisi ini dinilai Hermawan menjadi tantangan terberat bagi para praktisi public relations (PR) yang hendak melakukan city branding.
PDB
Menurut Hermawan, branding tidak dapat berdiri sendiri, tapi selalu beriringan dengan positioning dan differentiation. Atau, dalam dunia marketing dikenal dengan akronim PDB (positioning, differentiation, branding). Positioning bermakna harus sesuai dengan segmen dan target yang dituju. Sementara differentiation diterjemahkan menjadi marketing dan mix selling. Adapun branding harus didukung oleh layanan dan proses.
Kesalahan lain yang menurut Hermawan kerap dilakukan oleh mereka yang melakukan city branding adalah memilih sayembara sebagai metode dalam menentukan branding. “Jelas ini merupakan langkah yang keliru,” katanya. Semestinya, branding itu melewati tahapan dan kajian mendalam dengan melibatkan para profesional. “Belum tentu sayembara itu menghasilkan yang terbaik,” imbuhnya.
Tak kalah penting adalah mempertimbangkan letak daya tarik dari branding. Dengan catatan, selain harus mampu mengundang treat tourism investment (TTI) dari luar, branding juga harus memiliki kecocokan sehingga menimbulkan rasa bangga dari penduduk lokal. Contoh, Kota New York, Amerika Serikat. Pada pertengahan tahun 1970, New York dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tinggi. Berkat aktivitas PR yang mengusung brand I LOVE NY sebagai wujud kepedulian terhadap kota itu, reputasi kota ini terus membaik.
Disamping sumber daya, Hermawan melanjutkan, reputasi dan persepsi juga harus dikelola dengan baik, lalu dikemas menggunakan storytelling yang menarik untuk kemudian disajikan kepada publik. “Seperti halnya Bali yang tidak pernah memiliki logo, tetapi reputasi dan persepsinya sudah terbangun dengan keunikan yang mereka miliki. Pulau ini pun mampu dikenal secara global,” ujarnya.
Lainnya, yang sering dilupakan setelah melakukan branding adalah tidak melakukan pengukuran terhadap tingkat keberhasilan city branding yang telah dilakukan. Serta, mengomunikasikannya kepada khalayak, menjalankannya secara konsisten, mampu meningkatkan potensi bisnis baik treat tourism maupun investment, menimbulkan rasa kecintaan dari para tamu yang berkunjung, hingga memberikan rasa nyaman bagi penduduk maupun pendatang. (ais)