City branding menjadi salah satu jawaban yang dapat dilakukan pemerintah daerah (pemda) dalam rangka menghadapi tantangan dan kompetisi era global.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Melalui city branding, pemda dapat menyampaikan citra yang kuat dan potensi yang dimiliki kota/kabupatan yang berbeda dengan kota lainnya. Namun, bukan perkara mudah membangun merek/citra sebuah kota.
City branding bukan sekadar merilis logo yang ditunjang dengan tampilan grafis nan menarik. Perlu kajian mendalam dan strategi khusus mulai dari menentukan potensi, pemasaran, hingga cara mengomunikasikannya. Brand harus bisa mengomunikasikan dengan jelas seperti apa kota tersebut, apa saja potensi yang dimilikinya, dan mengapa kota tersebut patut mendapat perhatian. Sehingga, siapapun yang berkunjung ke kota tersebut atau masyarakat lokal dapat menangkap dengan mudah, bahkan mampu memaparkan secara singkat tentang kotanya.
Seperti yang menjadi perhatian pakar marketing dan branding Hermawan Kartajaya. Menurutnya, banyak kota/kabupaten yang bernafsu melakukan city branding. Mereka keliru mengartikan city branding sebagai slogan dan logo. “City branding harus dilandasi oleh 4C,” kata Chairman Markplus, Inc. itu saat ditemui PR INDONESIA usai menjadi pembicara di London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, beberapa waktu lalu.
Daya Tarik
Empat C yang dimaksud meliputi competitor, customer, chance, dan city. Siapa competitor (pesaing) dari kota/kabupaten yang bersangkutan. Siapa customer (pelanggan) dari kota tersebut baik dari luar maupun dalam kota. Apa chance (peluang) yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Terakhir, city yang melingkupi ketiga C tadi.
Tak kalah penting adalah mempertimbangkan letak daya tarik dari branding. Dengan catatan, mampu mengundang treat tourism investment (TTI) dari luar dan memiliki kecocokan sehingga menimbulkan rasa bangga bagi penduduk lokal. Selanjutnya melakukan pengukuran, mengelola reputasi dan persepsi dengan baik, lalu mengemasnya dengan storytelling yang menarik.
Nah, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahkan sudah merumuskan resepnya agar dapat dengan mudah dipraktikkan oleh humas pemerintah. Pertama, humas pemerintah harus mampu memviralkan berita baik. Kedua, melakukan damage control jika instansi atau daerahnya diterpa krisis dan berita negatif. Ketiga, mendorong pemimpinnya agar melek digital. “Pastikan segala perilaku dan gerak-gerik pemimpin mencerminkan wajah daerahnya. Tak lupa, pahami “siapa kita hari ini” agar aktivitas yang dilakukan efektif dan tepat sasaran,” saran Emil, sapaan karib sang gubernur.
Sebagai penutup, sempurnakanlah ketiga rumus tadi dengan menggunakan teori pentahelix. Yakni, pendekatan berbasis kolaborasi dengan academic, business sector, community, government, dan media. Atau disingkat ABCGM. (rtn/ais)