Televisi Republik Indonesia, atau yang dikenal dengan TVRI telah mengalami banyak perubahan di era kepemimpinan Helmi Yahya selaku Direktur Utama. Namun, masih dibayang-bayangi dengan banyaknya persoalan yang selama ini membebani.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - TVRI banyak berubah. Yang paling kentara adalah perubahan logo. Rebranding yang diresmikan tanggal 29 Maret 2018 itu sekaligus mencerminkan budaya kerja organisasi baru dan reformasi birokrasi. TVRI juga siap menjadi penyelenggara multipleksing di Indonesia.
Hingga saat ini, stasiun televisi yang lahir tahun 1962 tersebut masih menjadi stasiun televisi berjaringan (29 stasiun penyiaran) dan jaringan terestrial (361 lokasi) terbesar di Indonesia. Siaran TVRI juga bisa disaksikan melalui gawai dan media sosial.
Tahun ini, TVRI mengalami kenaikan audience share cukup signifikan. Rataratanya 1,41. Lebih tinggi ketimbang audience share tahun lalu yang hanya 0,9. Penyebabnya, karena mampu menghadirkan program olahraga premium seperti bulutangkis, sepakbola, dan yang saat ini Liga Inggris. Mereka juga melakukan perbaikan pengelolaan keuangan. Tahun 2018, untuk pertama kalinya TVRI memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengeculian (WTP) dari BPK.
Dalam Diskusi Publik bertema “Penguatan Kelembagaan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik” di Jakarta, Kamis (8/8/2019), Helmi mengatakan, televisi yang memiliki visi menjadi lembaga penyiaran kelas dunia ini ingin terus maju. “Tapi, kami harus secure dari sisi keuangan, konten makin kaya, dan teknologi yang mendukung,” ujarnya.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi Universitas Indonesia Nina Mutmainnah, lambatnya perkembangan TVRI karena polemik yang ada di dalamnya. Sejak berdiri, televisi ini sudah mengalami beberapa kali perubahan bentuk badan hukum dan organisasi. “Tidak ada definisi secara menyeluruh dan komprehensif yang mampu menguatkan posisi LPP TVRI sebagai lembaga pelayanan umum,” katanya.
Penting
Turut hadir Ankur Garg, Country Director BBC Media Action Indonesia. Di hadapan peserta, ia mengurai pentingnya negara memiliki televisi publik (public service broadcasting). Alasannya, televisi publik menjujung tinggi jurnalisme independen, wadah demokrasi, penentu arah kebijakan, dan berkontribusi kepada perkembangan negara. “Tidak ada yang bisa melakukan keempat hal ini selain televisi publik,” ujarnya. Karena perannya itu, BBC kerap dikritik terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah Inggris.
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyoroti tentang TVRI yang kadung dipersepsikan sebagai televisi pemerintah oleh masyarakat karena selama ini dibiayai negara. Mereka menganggap TVRI tidakcukup merepresentasikan suara rakyat. Maka, ketika ada isu ingin menjadikan TVRI sebagai televisi publik yang didanai dan melibatkan partisipasi publik seperti halnya NHK (Jepang) atau BBC (Inggris), ia mengimbau perlu kajian lebih mendalam.
Dadang Rahmat Hidayat, Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, melihat kepercayaan publik kepada TVRI sebagai lembaga yang independen sebenarnya makin kuat. Pekerjaan rumah selanjutnya, mempertahankan trust. “Kalau trust dari publik sudah tinggi, pemerintah pasti akan memberikan perhatian khusus,” ujarnya. Tak kalah penting, fungsi public relations yang kuat. “Perlu ada kampanye dan public partnership untuk membuat gerakan menyelamatkan TVRI, mau dibawa ke mana televisi ini?” katanya. (rtn/ais)