Banyak yang salah persepsi. Brand dikira hanya soal mengubah logo. Padahal brand dibangun dari banyak elemen.
TANGERANG, PRINDONESIA.CO – Seperti yang disampaikan DM ID Brand Consultant Almira Shinantya saat mengisi materi sesi II konferensi jelang puncak Anugerah Humas INDONESIA (AHI) di Kota Tangerang, Rabu (28/8/2019). Elemen yang dimaksud Almira melipui pelayanan, produk, positioning, promise, serta perilaku tim internal. Termasuk, peran public relations (PR) sebagai komunikator merek (brand communicator).
Almira melanjutkan, inisiatif membangun brand perusahaan itu harus datang dari pimpinan tertinggi, dilakukan secara menyeluruh, serta melibatkan semua jajaran perusahaan. Sebab, ketika perusahaan mencoba membangun brand, secara tidak langsung mereka sedang membangun persepsi nyata yang ada di pikiran target audiensnya. “Karena persepsi seseorang terhadap sebuah brand itu tidak bisa dipaksakan,” ujarnya.
Tak kalah penting, setiap brand yang dibangun haruslah memiliki tujuan yang jelas. “Pesan apa yang ingin dikomunikasikan kepada target audiens lewat brand kita? Kenapa brand perusahaan kita harus hadir?” katanya seraya bertanya. Hal ini dikarenakan sejatinya brand membawa visi besar perusahaan. Apabila tujuan tadi dapat dikomunikasikan dengan baik, maka publik yang memiliki kesamaan values akan dengan mudah saling terhubung.
Contoh, TVRI. Di bawah nakhoda Helmi Yahya, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) ini berkomitmen untuk menjadi perusahaan penyiaran kelas dunia. Mereka lantas bertransformasi mulai dari rebranding logo, program, rekrutmen, sampai budaya kerja perusahaan.
Tiga Dunia
Menurut Almira, membangun brand makin penting mengingat saat ini kita hidup di tiga dunia sekaligus. Pertama, dunia yang serba mirip dan tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Apalagi budaya cut, copy dan paste masih sering terjadi. “Untuk itu, penting bagi kita memiliki keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki perusahaan lain,” kata perempuan yang telah bergabung bersama DM ID selama hampir satu dekade. Misal, kemampuan membangun ikatan emosional antara perusahaan dengan eksternal stakeholder. “Ini juga bisa menjadi pembeda antara brand kita dengan yang lain,” imbuhnya.
Kedua, dunia yang serba cepat. Kondisi ini menuntut PR untuk terus bergerak maju, beradaptasi menyesuaikan segala perubahan. Dengan catatan tetap relevan dengan waktu, objek bisnis perusahaan, dan konsisten.
Disamping itu, PR juga harus mampu menguasai strategic positioning perusahaan sekaligus cara mengomunikasikan brand yang mampu merefleksikan karakter perusahaan. Seperti halnya brand kopi ternama, Starbucks. Perusahaan berlogo Dewi Syren ini paham betul posisinya sebagai “tempat ketiga”. Maksudnya, Starbucks selalu hadir di antara perjalanan konsumen dari rumah menuju ke kantor, kampus, bahkan di sela-sela kesibukan mereka dari satu pertemuan ke pertemuan lain. “Kondisi inilah yang disebut sebagai jiwanya brand. Selanjutnya, jiwa itu diturunkan ke dalam cara mereka membangun lingkungan,” ujarnya.
Ketiga, dunia yang selalu berubah. Terlebih, sejak internet makin berkembang. Kini, pelanggan dihadapkan oleh beragam pilihan brand atau merek yang cukup diakses melalui ponsel. Kondisi ini memaksa PR berteriak lebih keras agar brand-nya bisa didengarkan dan dipertimbangkan. (ais)