Mengelola krisis membutuhkan sebuah hal yang sejatinya sederhana, tapi sayang sering dilupakan: Nalar!
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Krisis yang baru-baru ini menimpa perusahaan maskapai terbaik ke-12 di dunia, Garuda Indonesia (GA) perihal respons manajemen dalam menghadapi kritik pelanggannya sendiri, tak luput dari perhatian para praktisi public relations (PR) yang hadir di acara perdana “Kopi Darat PR Rembuk”, di Jakarta, Jumat (19/7/2019) bertema “Mencari Peluang Sinergi Government PR dan Corporate PR”. Forum yang digagas PR INDONESIA Guru Maria Wongsonagoro, itu bermula dari diskusi di grup WhatsApp (WA) yang ia bentuk dengan nama PR Rembuk.
Kembali ke kasus krisis GA. “Jawaban krisis itu sebenarnya sangat sederhana. Pergunakanlah nalar, karena nalar itu tak bergelar,” ucap Maria. Menurut perempuan yang telah berkecimpung di dunia public relations (PR) selama hampir 35 tahun tersebut, masalah itu tidak akan melebar atau merusak citra perusahaan jika PR bisa menyelesaikannya dengan nalar. “Isu tersebut sebetulnya dapat dicegah dengan memahami pentingnya manajemen isu,” tegasnya.
Ibarat mitigasi bencana, manajemen isu merupakan sebuah sistem komunikasi proaktif untuk menangani suatu isu sebelum ia berkembang ke arah yang lebih serius. Keberadaannya dibutuhkan guna mengevaluasi opini publik, baik internal maupun eksternal, mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, sekaligus berfungsi menangani isu sebelum berkembang menjadi krisis. Tidak selamanya isu bersifat negatif, ada juga yang positif.
Kondisi ini tak dapat dipisahkan dari fenomena post-truth. Kondisi yang membuat seseorang menentukan keputusan bukan lagi didasarkan pada logika, melainkan menggunakan emosi. Selamatta Sembiring, Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang turut hadir sebagai pemateri mengamini hal tersebut. Menurutnya, permasalahan terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dari sisi komunikasi saat ini ialah perihal hoaks dan ujaran kebencian.
Tingginya angka penetrasi internet di kalangan masyarakat Indonesia yang mencapai 64,8 persen pada tahun 2018, secara bersamaan melahirkan ribuan konten kreator dan influencer di tanah air. Untuk itu, Kemenkominfo melakukan pengawasan dari hulu hingga ke hilir. Mulai dari mengawasi para pemegang platform media sosial, menciptakan Undang-undang ITE, hingga menyuntikkan vaksin anti hoaks kepada masyarakat. “Mungkin kita perlu membuat sebuah kode etik bermedia sosial,” pungkasnya.
Kolaborasi
Sementara, Director Corporate Affairs Citibank Indonesia Elvera N Makki yang turut hadir sebagai pengisi acara menyoroti pentingnya melakukan kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan multinasional. Termasuk, kolaborasi di bidang kehumasan. Untuk memperkuat sinergi yang ia maksud, hal pertama yang harus diperhatikan adalah menengok kembali visi dan misi perusahaan. Analisis isu-isu yang sedang dihadapi perusahaan, lalu menyelaraskan dengan permasalahan yang sedang dihadapi negara.
Kedua, melihat visi dan misi pemerintahan. Contoh, Nawacita Presiden Joko Widodo. “Temukan kesamaan isu, tujuan, dan aktivitas yang ingin dicapai oleh keduanya,” ucap Vera, panggilan karibnya. Terakhir dan yang paling penting, adalah kolaborasi dari sisi komunikasi. Dalam hal ini, PR harus memiliki kedekatan dengan CEO, sehingga pimpinan memahami setiap kondisi yang terjadi di perusahaan, baik internal maupun eksternal.
“Kita harus mempromosikan hal-hal baik, pre-empt dan pre-event, serta menghindari pekerjaan PR sebagai pemadam kebakaran,” ujar peraih gelar 50 PR Pilihan PR INDONESIA itu. (ais)