Berdasar studi yang digarap oleh startup Swedia A Good Company and Hype Auditor, India, Indonesia, dan Jepang adalah target terbesar penipuan melalui Instagram.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Studi ini mencakup 1,84 juta akun di seluruh dunia, dan diestimasikan ada USD 744 juta kerugian karena bot dan followers massal. Amerika Serikat dan Brazil berada pada urutan teratas negara yang terdampak penipuan melalui Instagram. India dan Indonesia berada pada peringkat ketiga dan keempat, dan Jepang berada pada peringkat keenam.
Dari seluruh negara yang disurvei, terdapat 58 juta akun dari India, Indonesia, dan Jepang yang merupakan akun bot atau akun followers massal. Ini diukur dari estimasi Statista mengenai jumlah total pengguna Instagram dari negara-negara tersebut.
Meskipun menunjuk Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami penipuan melaui Instragram terbesar di dunia, studi tersebut tidak memerinci seberapa banyak akun Instragram bermasalah dan berapa nilai kerugiannya yang terjadi. Sejauh ini, riset sejenis juga belum muncul di Indonesia. Padahal, Instagram kini menjadi platform media sosial paling digemari di kalangan milenial di Indonesia, yang belakangan melahirkan begitu banyak selebgram anyar.
Diantara masalah yang ditemukan dalam survei, satu masalah terbesar yang digarisbawahi adalah ‘engagement pods’. ‘Engagement pods’ adalah pengaturan keadaan di mana para influencers tergabung dalam gerakan kolektif yang secara rutin memberikan like dan comment untuk meningkatkan engagement satu sama lain. Keadaan ini terutama banyak diterapkan oleh micro-influencers.
Konektivitas Brand
Para micro-influencers biasanya menjanjikan konektivitas brand untuk audiens mereka yang lingkupnya kecil, tapi dengan tingkat engagement tinggi. ‘Engagement pods’ kemudian digunakan untuk memperoleh harga proporsional dari brand yang menggunakan jasa mereka. Micro-influencers juga ditemukan memiliki tingkat anomali yang tinggi di jumlah followers dan likes, biasanya ini merupakan likes dari bots.
Studi ini digagas oleh CEO dan co-founder A Good Company, Anders Ankarlid, setelah ia menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan strategi penjualan melibatkan micro-influencers kerap tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Berikut ini beberapa temuan studi Ankarlid.
“Melihat korelasi yang sangat kurang antara pengeluaran marketing kami yang melibatkan influencer dengan jumlah penjualan, kami mencurigai bahwa ada tindakan kecurangan yang tinggi. Firasat ini lah yang memicu kami untuk menggali lebih dalam,” ujar Ankarlid kepada Mumbrella (15/07/2019) mengenai latar belakang ia melakukan riset ini.
Temuan Ankarlid perlu disikapi oleh para praktisi PR/Humas ketika mengelola komunikasi organisasi atau korporasinya dengan memanfaatkan Instagram, lengkap dengan amunisi para influencer maupun buzzer. Setidaknya supaya terhindar dari potensi kerugian sebagaimana dilaporkan dalam studi tersebut. (den/mumbrella/asw)