Bukan hal gampang menggeser arah dan positioning pembangunan sebuah kota. Dari kota industri menjadi kota pariwisata. Semarang, berhasil melakukannya.
Hendrar Prihadi - Walikota Semarang
SEMARANG, PRINDONESIA.CO - Di tangan dingin sang Walikota Hendrar Prihadi, Semarang yang sejak bertahun-tahun dikenal sebagai “kota transit” dan kota perdagangan, kini perlahan namun pasti sudah berubah wajah. Ya, Semarang telah siap menjadi destinasi nasional dan internasional di negeri ini.
Siang itu pada medio April 2019, di terik panas cuaca kota Semarang yang mencapai 33 derajat celcius, Hendi– panggilan karib sang walikota—menemui kami di kantornya, Gedung Balaikota, Jalan Pemuda. Seperti biasa, ia selalu mengembangkan senyum khasnya setiap bertemu tamu. Peristiwa itu bukanlah pertemuan pertama kami. Tapi, gaya Hendi tetap bersemangat.
Sejurus kemudian, percakapan kami mengalir lepas. Mendengar ceritanya yang begitu komprehensif memaparkan hasil dan arah pembangunan kotanya, Hendi seperti tak pernah letih mengelola kota yang punya APBD Rp 5,1 triliun itu (2019). Ia juga tak pernah merasa lelah memandu sekitar 1,67 juta warga kotanya (data Dispendukcapil Kota Semarang, Desember 2018) untuk selalu tertib membuang sampah, terutama sampah plastik. Oh ya, soal sampah pastik dan pemakaian bahan plastik, Pemkot Semarang telah memiliki regulasi berupa Peraturan Wali Kota (Perwali). Di tangannyalah, Semarang kini makin berwajah cantik. Hampir semua ruas jalan protokol di tengah kota, pedestriannya telah ditata kian menarik.
Sungai Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur tak luput dinormalisasi. Sejumlah taman anyar ia bangun di sekitar kawasan dua sungai yang membelah Semarang. Investor yang ingin membangun taman, ia sambut dengan hangat. Contohnya, Taman Indonesia Kaya yang terletak di depan SMAN 1 Semarang, sebagai hasil dukungan CSR sebuah perusahaan ternama di Indonesia.
Kota Lama
Konsentrasi Walikota yang masih muda ini bersama jajarannya adalah membereskan kawasan Kota Lama Semarang. Sebuah kawasan yang memiliki lebih dari 200 bangunan berarsitektur peninggalan kolonial Belanda. Dari jumlah itu, yang menjadi aset Pemkot Semarang tidaklah banyak. Sungguhpun sedikit, Hendi “menyulap” properti aset tersebut agar menjadi lokomotif wajah baru Kota Lama. Jalanan di kawasan ia bongkar, diganti dengan bahan yang mirip dengan saat masih di masa kolonial. “Pada akhirnya, para pemilik bangunan di Kota Lama terbuka pintu hatinya untuk turut mempercantik bangunan masingmasing,” ucap Hendi bungah.
Apalah menariknya kawasan sebuah kota jika hanya berhias bangunan fisik semata? Sadar atas hal demikian, Pemkot Semarang memberikan sentuhan “roh” kawasan Kota Lama. “Kawasan Kota Lama akan kami hidupkan dengan beragam aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya. Agar Kota Lama berdenyut dan menarik perhatian wisatawan semakin banyak,” imbuh Hendi. Dengan adanya aktivitas-aktivitas tersebut, kawasan Kota Lama kian ramai dan inklusif, sekaligus berkembang menjadi tempat rujukan masyarakat.
Semangat Hendi dan jajaran Pemkot Semarang kian berlipat, manakala kawasan Kota Lama diusulkan sebagai cagar budaya ke UNESCO. “Mudahmudahan tahun 2020 sudah ada kepastian dan kabar baik Kota Lama bisa menyandang status sebagai salah satu cagar budaya dunia versi UNESCO,” harap sang Walikota.
Revitalisasi Kota Lama sebagai salah satu destinasi, tentu membutuhkan integrasi dengan berbagai aktivitas pariwisata lainnya. Untuk itulah, beragam atraksi dan event budaya dikembangkan untuk mengukuhkan Semarang sebagai kota tujuan wisata. “Kami mengintegrasikan semua potensi itu. Ya kawasan, budaya, atraksi, kuliner, maupun keramahtamahan warga sebagai produk wisata yang bakal memberi kesan mendalam bagi siapapun yang berkunjung ke Semarang,” lanjut sosok yang menyukai musik-musik rock ini.
Tersebutlah misalnya tradisi budaya Dugderan, semacam karnaval menjelang bulan Ramadan. Lalu Semarang Night Carnival (SNC) yang diinisiasi pada 2011, sekarang telah berkembang menjadi agenda pariwisata nasional. Bahkan sejak 2017, sejumlah negara sahabat turut hadir mengirim delagasi mengikuti SNC, yang menjadikannya berlabel event internasional. Agenda-agenda budaya dan atraksi seni tersebut, mampu memberi sumbangan penting bagi positioning Kota Semarang sebagai sebuah destinasi yang komplet bagi wisatawan domestik maupun asing.
Hasilnya, dalam kurun enam tahun terakhir, arus wisatawan nusantara berkunjung ke Semarang sudah menembus lima juta orang pada 2017, naik dobel dibanding 2011 yang “hanya” 2,5 juta wisatawan. Sedangkan wisatawan asing melesat dari cuma 30 ribu orang menjadi 150 ribu turis pada periode yang sama. Hendi dan jajarannya jelas tak lekas puas diri. Ia berharap melalui strategi promosi yang lebih gencar, bakal makin banyak wisatawan mengunjungi kotanya.
Masih terkait memanjakan wisatawan, Pemkot Semarang juga telah menginisiasi pembangunan travelator di sepanjang Jalan Pemuda bagi para pedestrian. Pun dengan gedung parkir di Jalan Pandanaran. “Kami juga akan membuat narasi visual dengan permainan lampu saat malam hari di Gedung Pandanaran depan Tugu Muda,” ujar Hendi. Kawasan Jalan Pandanaran memang salah satu ikonik Kota Semarang, sehingga kerap disebut sebagai down town. Di sepanjang kawasan inilah bertabur hotel dan tokotoko penjaja suvenir khas Semarang.
Kontribusi pajak dari sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Semarang otomatis ikut terkerek. Jika pada 2011 masih berada di ranking lima, tahun 2018 merangsek ke peringkat tiga besar.
Pilihan Hendi dan jajarannya terhadap jasa pariwisata ketimbang sektor jasa lain sungguh amat tepat. Perubahan ekonomi di tengah masyarakat terlihat nyata. “Kue pariwisata itu lebih merata. Semua kalangan masyarakat bisa menikmati dan berperan,” tegasnya.
“Pariwisatalah yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat semua lapisan bersama-sama. Sekaligus menyelamatkan bumi dari bahaya polusi dampak pembangunan industri,” kata Hendi penuh semangat.