Pemahaman tentang konsep era Society 5.0 kerap disalahartikan oleh berbagai pihak. Mereka umumnya menganggap kehadiran teknologi super canggih seperti robotic, artificial intelligence (AI), hingga internet of things (IoT) akan mengambil alih profesi yang selama ini dikerjakan oleh manusia.
BANDUNG, PRINDONESIA.CO - Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja tak memungkiri jika di masa depan teknologi akan berkembang pesat. Namun, kita tidak boleh bergantung sepenuhnya terhadap teknologi. Sebab, komponen terpenting dalam transformasi digital adalah manusia. Maka, peran manusia akan ditempatkan sebagai pengendali teknologi. “Di setiap teknologi itu selalu terdapat intervensi manusia. Jadi, tidak mungkin teknologi bergerak sendiri,” ujarnya di hadapan para peserta workshop jelang PR INDONESIA Awards (PRIA) 2019 di Bandung, Rabu (27/3/2019).
Faktanya, ketika industri berlomba-lomba melakukan transformasi ke arah digital, mereka seringkali lupa mempersiapkan komponen sumber daya manusia (SDM) dan hanya fokus pada pengembangan teknologi semata. Padahal, ketika kita berbicara tentang transformasi digital akan sangat erat kaitannya dengan perubahan budaya. Mulai dari budaya etos kerja, efisiensi, hingga pola komunikasi yang berubah 180 derajat. “Mereka lupa bahwa orangnya pun harus dibangun,” tegasnya. Sementara dalam hal pengelolaan data, perusahaan umumnya belum mampu memanfaatkan keberadaan data untuk keberlangsungan bisnis mereka. “Karena tidak memiliki kemampuan mengolah data (data scientist), data hanya sekadar disimpan tetapi tidak dianalisis,” ujarnya.
Menurut Ardi, terdapat tiga faktor penting dalam proses transformasi. Pertama, pertumbuhan. Artinya, dengan mengambil langkah transformasi ke arah digital, perusahaan menginginkan adanya suatu pertumbuhan bisnis dan ekonomi. Kedua, pengaturan kembali struktur perusahaan/institusi. Ketiga, efisiensi bukan berarti memberhentikan karyawan, melainkan menyiapkan karyawan melalui peningkatan kapasitas (capacity building) agar siap menghadapi perkembangan zaman.
Untuk menjawab tantangan di era Society 5.0, lanjut Ardi, dibutuhkan PR dengan kemampuan plus. Maksudnya, PR dengan kemampuan menguasai berbagai sektor, berpikir inovatif serta out of the box. PR profesional juga harus mampu bersikap antisipatif, bukan reaktif. “Sebab, jika teknologi dibiarkan tanpa kendali, justru bisa menjadi ancaman bagi manusia,” katanya seraya tak lupa menekankan pentingnya memiliki sertifikasi profesi sebagai tumpuan hidup di masa mendatang.
Advokasi
Hal senada disampaikan oleh Marketing and Communication Director Accenture Indonesia Nia Sarinastiti. Menurut Nia, Indonesia akan menemui kesulitan ketika memasuki era Society 5.0, jika tidak mampu menguasai Industri 4.0. Apalagi dengan kondisi demografi masyarakat kita yang majemuk. Langkah yang bisa dilakukan PR adalah bersikap advokasi atau mendorong para pemangku kepentingan mereka untuk melakukan suatu perubahan. Misalnya, dengan cara aktif terlibat sebagai volunteer dalam membantu masyarakat memahami teknologi, menjalin jejaring serta bertukar informasi dalam menciptakan super smart society.
Agar PR mampu mengikuti perkembangan zaman pastikan PR kekinian tidak lagi hanya mengandalkan mainstream media sebagai media publikasi, tapi media sosial dan situs resmi perusahaan. “Dengan adanya internet, kita bisa mendapatkan informasi dan berinteraksi dengan stakeholders secara langsung,” ujar Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya ini. Kedua, tampilan belum tentu mencerminkan isi. “Bisa saja website-nya menarik, tapi tidak pernah diperbaharui dan tidak ada isinya. Ini harus dihindari,” tutupnya. (ais)