Dunia kini sedang berubah. Siapapun tentu tahu soal ini. Namun, kecepatan perubahan yang sedang terjadi tidak disadari setiap orang. Bahkan tidak pernah disangka-sangka.
Kehadiran teknologi dan ekosistem digital adalah pemantik perubahan yang demikian cepat itu. Tahun lalu, misalnya, diskursus tentang era 4.0 baru muncul ke permukaan di ruang-ruang diskusi dan seminar. Pemerintah pun baru mencanangkan “Making Indonesia 4.0”. Sebuah gerakan dan kebijakan untuk mendorong sektor industri bergerak ke arah otomasi, efisiensi, dan digitalisasi. Peran manusia bergeser menjadi operator, kreator, dan inovator. Tidak lagi menjalankan fungsi-fungsi teknikal.
Kini, wacana 5.0 sudah muncul. Jejak wacana evolusi (industri) 5.0 sejatinya sudah mengemuka pada 1 Desember 2015. Era 5.0 mengandaikan bahwa masyarakat telah menerapkan teknologi yang berfokus pada kehidupan manusia, dengan bersandar pada kebiasaan masyarakat 4.0. Jika era 4.0 masih “sebatas” memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi kebutuhan manusia secara lebih presisi, maka era 5.0 selangkah lebih maju dengan mempergunakan pendekatan 4.0 demi kemudahan manusia dalam memenuhi kehidupan. Seperti penggunakan sensor yang memungkinkan layanan manusia akan berkembang jauh lebih customized.
Di era 5.0 inilah masyarakat akan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih merata berkat penerapan teknologi mutakhir. Kesenjangan antara pusat dan daerah juga akan semakin menipis, bahkan sirna. Meminjam kalimat Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang disampaikan pada World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23 Januari 2019, betapa pentingnya masyarakat yang didorong oleh data tanpa batas dan pengelolaan data di seluruh dunia, untuk meningkatkan pertumbuhan pada masa depan. Dalam masyarakat 5.0, bukan lagi modal, melainkan data yang menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dengan kurang mampu.
Siapapun tentu tak ingin kesenjangan terjadi. Teknologi, informasi, dan data, sudah semestinya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi manusia. Era 5.0 mendekatkan ketiganya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Toh, hal ini tidak kemudian menghilangkan sisi-sisi humanitarian manusia. Kenyamanan dan kenikmatan hidup manusia yang dilayani oleh teknologi 5.0, justru memungkinkan manusia untuk memiliki kesempatan terhubung lebih mudah, lebih sering, dan lebih murah.
Proses pembelajaran juga akan semakin efisien dengan memanfaatkan pendekatan 5.0. Ini karena biaya berkomunikasi semakin murah pula. Jangan-jangan, era penggunaan pulsa sudah tidak relevan lagi, ketika “alat berkomunikasi” manusia tidak perlu lagi mempergunakan jaringan telekomunikasi, digantikan alat yang lebih canggih yang menghadirkan lawan bicara berada di hadapan kita secara “visual”.
Memuliakan Manusia
Menilik jejak penemuan dan visi era 5.0, yang tampak menonjol adalah betapa mulianya manusia. Sisi ini sungguh sangat menarik. Dalam tradisi public relations (PR), memuliakan manusia adalah hal sangat fundamental ketika berkomunikasi menyampaikan pesan. Manusia (baca: audiens), bukanlah benda mati, semacam batu atau kayu. Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki anugerah akal, keinginan, harapan, dan tujuan dalam kehidupannya. Apalagi, tidak ada satupun manusia yang identik sama secara genetika.
Kehadiran teknologi yang kian canggih memang sudah semestinya membuat manusia semakin mulai hidupnya. Inilah saatnya Anda memanfaatkan teknologi untuk mengembalikan kodrat audiens Anda sebagai makhluk hidup yang paling mulia di dunia. (Asmono Wikan)
Selengkapnya baca PR INDONESIA versi cetak dan SCOOP edisi 47/Februari 2019. Hubungi Sekhudin: 0811-939-027, [email protected]