Mengemas pesan ke dalam sebuah storytelling memang tengah menjadi tren PR di tahun 2019. Namun, untuk dapat menciptakan storytelling yang luar biasa, PR harus berpikir mega. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Menurut Assistant Vice President External Communication PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk Pujo Pramono, storytelling biasanya berawal dari suatu kondisi atau peristiwa yang harus dihadapi oleh perusahaan.
Kondisi yang dimaksud terbagi tiga. Pertama, kondisi kampanye. Yakni, ketika perusahaan ingin menyampaikan pesan yang sifatnya promosi dan meningkatkan citra perusahaan. Kedua, saat perusahaan dihantam pemberitaan negatif, dimana memaksa PR untuk responsif mengonter isu yang beredar. Ketiga, saat terjadi krisis, tetapi bukan disebabkan oleh pihak eksternal. Dalam kondisi ini, PR harus pandai-pandai menemukan pola manajemen krisis yang tepat.
Adapun pola pikir PR, kata Pujo mengutip pernyataan Menteri Pariwisata Arief Yahya, terbagi tiga berdasarkan urgensinya. Pertama berpikir mikro. Pola berpikir seperti ini hanya memikirkan kepentingan perusahaan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi publik.
Kedua, makro atau cenderung mengutamakan customer oriented seperti nilai, pengalaman, dan kepuasan pelanggan.
Yang paling besar adalah pola berpikir mega (nasional). Jika pola pikir PR sudah sampai pada taraf ini, secara otomatis juga menjangkau mikro dan makro. “Begitu kita berpikir community development, pasti customer dan perusahaan juga mendapatkan keuntungan,” ujarnya saat menjadi pembicara di acara PR INDONESIA Outlook (PRIO) 2019 di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Praktisi PR dengan pola pikir seperti inilah yang dipastikan mampu menentukan tema storytelling luar biasa yang mempertimbangkan relevansinya dengan kemaslahatan bangsa dan masyarakat luas. Selanjutnya, ditindaklanjuti dengan membuat 360-degree integrated media campaign (IMC). Ujung tombaknya dari rangkaian storytelling adalah engagement dengan target audiens. (ais)